A. Beberapa Definisi
1. Penyimpangan Nilai dan Norma Sosial
Dalam kehidupan masyarakat, semua tindakan manusia dibatasi oleh norma (aturan) untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan nilai (sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat). Namun demikian di tengah kehidupan masyarakat kadang-kadang masih kita jumpai tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat itu. Tindakan yang demikian itu merupakan penyimpangan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia penyimpangan diartikan sebagai tindakan di luar ukuran (kaidah) yang berlaku.[1]
Dalam Kamus Kriminologi karangan Soerjono Soekanto (1988) disebutkan bahwa penyimpangan sosial adalah sikap tindak yang bertentangan dengan aturan yang berlaku atau harapan masyarakat, yang mengakibatkan terjadinya penolakan terhadap tingkah laku atau dijatuhkannya hukuman.[2]
Untuk memperjelas pengertian tentang penyimpangan sosial, berikut ini disajikan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli sosiologi:
1) Menurut James Worker Van der Zaden, penyimpangan sosial adalah perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela
2) Menurut Robert Muhamad Zaenal Lawang, penyimpangan sosial adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan menimbulkan usaha dari yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang tersebut.
3) Menurut Paul Band Horton, penyimpangan sosial adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat.
Penyimpangan terhadap nilai-nilai atau norma-norma sosial disebut deviasi (deviation), sedangkan pelaku atau individu yang melakukan penyimpangan disebut devian (deviant). Kebalikan dari perilaku menyimpang adalah perilaku yang tidak menyimpang yang sering disebut dengan konformitas. Konformitas adalah bentuk interaksi sosial yang di dalamnya seseorang berperilaku sesuai dengan harapan kelompok.[3]
Jadi, suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat atau segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri terhadap kehendak masyarakat.
Adapun yang dimaksud dengan penyimpangan nilai dan norma sosial dalam berbahasa adalah tindak tutur yang tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berlaku pada suatu masyarakat.
Secara prinsip setiap kelompok sosial, mulai level yang kecil sampai level dunia, mempunyai kesamaan tentang pentingnya memperhatikan kesantunan dalam berbahasa. Namun bukan berarti kita dapat menyamakan begitu saja ukuran kesantunan tiap-tiap kelompok bangsa itu. Apabila kita memasuki suatu kelompok sosial kita harus mencari tahu hal-hal yang dianggap tidak santun dalam kelompok sosial tersebut. Sebagai contoh ungkapan basa-basi (lip service) merupakan bagian budaya masyarakat Sunda, Jawa dan Indonesia secara umum. Ungkapan ini dapat kita jumpai setiap hari. Misalnya, jika ada seorang teman lewat di depan rumah, kita selalu menawarinya “Nggak singgah dulu?”, ketika teman datang ke rumah kita, kita menawarinya “Mari makan”, padahal sebenarnya tawaran itu tidak serius. Bahkan bila tetangga lewat di depan rumah, kita sering bertanya “Mau pergi ke mana?”, walaupun sebenarnya kita tidak ingin tahu mau pergi ke mana tetangga tersebut. Bagi orang Eropa atau Amerika ungkapan “Mau ke mana?” atau “Where are you going?” dianggap telah mencampuri urusan orang lain. Mungkin dalam hati mereka akan berkata “Saya mau pergi ke mana saja bukan urusanmu” atau “It’s none of your business."
2. Bahasa
Menurut Shadily (1999) bahasa adalah hasil keterampilan dan ciri khas manusia, yang dapat diucapkan melalui alat-alat pada tubuh manusia. Bahasa dapat menguraikan hampir segala maksud keperluan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa juga merupakan alat sosialisasi, yakni alat perkenalan dengan alam atau lingkungan masyarakatnya.[4]
Harimurti memberikan batasan bahasa sebagai sistem lambang arbitrer yang dipergunakan suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri.[5] Batasan ini merupakan batasan yang lazim diungkapkan, baik oleh para ilmuwan bahasa maupun para ilmuwan lainnya.
Sementara itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa mengandung tiga pengertian, yaitu: 1) sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan oleh alat-alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran; 2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, daerah, negara, dsb); 3) percakapan (perkataan) yang baik, sopan santun, tingkah laku yang baik.[6]
Bloch dan Trager dalam Hidayat (2006) mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk berkomunikasi.[7]
Senada dengan dua ilmuwan di atas, Joseph Bram mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain.[8]
Dari definisi-definisi yang telah diungkapkan dapatlah dikemukakan bahwa bahasa adalah sistem simbol yang digunakan untuk momunikasi manusia.
B. Fungsi Bahasa
Secara umum fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi, bahkan dapat dipandang sebagai fungsi utama dari bahasa.
Kata komunikasi berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Maksudnya ialah sama makna.[9] Jika dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan kata lain, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu.[10]
Fungsi bahasa dirinci oleh Jacobson dalam Hidayat (2006) sebagai berikut:
1) Emotive Speech, berfungsi psikologis yaitu dalam menyatakan perasaan, sikap, atau emosi
2) Phatic Speech, berfungsi memelihara hubungan sosial
3) Cognitive Speech, berfungsi mengungkapkan maksud atau makna sesungguhnya yang sering diberi istilah denotatif atau informatif
4) Rhetorical Speech, berfungsi mempengaruhi dan mengkondisikan pikiran dan tingkah laku
5) Metalingual Speech, berfungsi membicarakan bahasa. Ini adalah jenis ujaran yang paling abstrak karena dipakai dalam membicarakan kode komunikasi
6) Poetic Speech, berfungsi mengungkapkan estetika
Menurut Finocchiario, bahasa berfungsi
1) Personal, berfungsi menyatakan emosi, kebutuhan, pikiran, hasrat, sikap dan perasaan
2) Interpersonal, untuk mempererat hubungan sosial seperti ekspresi pujian, simpati, bertanya kesehatan, dan sebagainya
3) Directive, untuk mengendalikan orang lain dengan saran, nasihat, perhatian, permohonan, persuasi dan sebagainya
4) Referential, untuk membicarakan objek atau peristiwa dalam lingkungan sekeliling atau di dalam kebudayaan pada umumnya
5) Metalinguistic, untuk membicarakan bahasa
6) Imaginative, untuk mengungkapkan nilai-nilai estetika
Sementara iru Titus, Smith dan Nolan dalam Hidayat (2006) membagi fungsi bahasa menjadi empat, yaitu: 1) fungsi kognitif, 2) fungsi emotif, 3) fungsi imperatif, dan 4) fungsi seremonial. Fungsi kognitif berarti bahwa bahasa berfungsi untuk menerangkan suatu kebenaran, seperti bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat. Fungsi emotif mengandung makna bahwa bahasa berfungsi menerangkan aspek emosi atau perasaan terdalam dari manusia. Fungsi imperatif ialah bahwa bahasa berfungsi memerintah atau mengontrol suatu prilaku. Sedangkan fungsi seremonial adalah fungsi bahasa untuk menghormati orang lain, berdoa, dan ritual lainnya.[11]
C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Penyimpangan Nilai dan Norma Sosial
Penyimpangan sosial tentu tidak begitu saja muncul tanpa ada faktor-faktor penyebab dan pemicunya, berikut ini dikemukan faktor-faktor penyimpangan sosial menurut James W. Van Der Zanden[12] :
1. Longgar tidaknya nilai dan norma
Ukuran perilaku menyimpang bukan pada ukuran baik buruk atau benar salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran longgar tidaknya norma dan nilai sosial suatu masyarakat. Norma dan nilai sosial masyarakat yang satu berbeda dengan norma dan nilai sosial masyarakat yang lain.
Ukuran perilaku menyimpang bukan pada ukuran baik buruk atau benar salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran longgar tidaknya norma dan nilai sosial suatu masyarakat. Norma dan nilai sosial masyarakat yang satu berbeda dengan norma dan nilai sosial masyarakat yang lain.
- Sosialisasi yang tidak sempurna.
Di masyarakat sering terjadi proses sosialisasi yang tidak sempurna sehingga menimbulkan perilaku menyimpang. Contoh: Seorang pemimpin suatu masyarakat idealnya bertindak sebagai panutan atau pedoman dan menjadi teladan, namun kadang kala terjadi pemimpin justru memberi contoh yang salah. Karena masyarakat mentolerir tindakan tersebut maka terjadilah tindak perilaku menyimpang.
- Sosialisasi subkebudayaan yang menyimpang
Perilaku menyimpang terjadi pada masyarakat yang memiliki nilai-nilai subkebudayaan yang menyimpang, yaitu suatu kebudayaan khusus yang normanya bertentangan dengan norma-norma budaya pada umumnya. Contoh: Masyarakat yang tinggal di lingkungan kumuh, masalah etika dan estetika kurang diperhatikan, karena umumnya mereka sibuk dengan usaha memenuhi kebutuhan hidup yang pokok (makan), sering cekcok, mengeluarkan kata-kata kotor, buang sampah sembarangan dan sebagainya. Hal itu oleh masyarakat umum dianggap perilaku menyimpang.
Sedangkan menurut Casare Lombroso[13], terjadinya penyimpangan sosial disebabkan oleh faktor-faktor:
2) Biologis
Misalnya orang yang lahir sebagai pencopet atau pembangkang. Ia membuat penjelasan mengenai “si penjahat yang sejak lahir”. Berdasarkan ciri-ciri tertentu orang bisa diidentifikasi menjadi penjahat atau tidak. Ciri-ciri fisik tersebut antara lain: bentuk muka, kedua alis yang menyambung menjadi satu dan sebagainya.
Misalnya orang yang lahir sebagai pencopet atau pembangkang. Ia membuat penjelasan mengenai “si penjahat yang sejak lahir”. Berdasarkan ciri-ciri tertentu orang bisa diidentifikasi menjadi penjahat atau tidak. Ciri-ciri fisik tersebut antara lain: bentuk muka, kedua alis yang menyambung menjadi satu dan sebagainya.
3) Psikologis
Menjelaskan sebab terjadinya penyimpangan ada kaitannya dengan kepribadian retak atau kepribadian yang memiliki kecenderungan untuk melakukan penyimpangan. Dapat juga karena pengalaman traumatis yang dialami seseorang.
Menjelaskan sebab terjadinya penyimpangan ada kaitannya dengan kepribadian retak atau kepribadian yang memiliki kecenderungan untuk melakukan penyimpangan. Dapat juga karena pengalaman traumatis yang dialami seseorang.
4) Sosiologis
Menjelaskan sebab terjadinya perilaku menyimpang ada kaitannya dengan sosialisasi yang kurang tepat. Individu tidak dapat menyerap norma-norma kultural budayanya.
Menjelaskan sebab terjadinya perilaku menyimpang ada kaitannya dengan sosialisasi yang kurang tepat. Individu tidak dapat menyerap norma-norma kultural budayanya.
D. Nilai dan Norma Sosial dalam Berbahasa
Dengan telah dipahaminya pengertian nilai dan norma sosial dapatlah dianalogikan bahwa nilai dan norma sosial dalam berbahasa adalah sesuatu yang dianggap baik dan benar menurut aturan atau konvensi suatu masyarakat yang digunakan dalam berkomunikasi untuk mengungkapkan suatu maksud.
Dalam makalah ini tidak akan dibahas secara mendetail mengenai nilai dan norma sosial dalam berbahasa yang ada pada suatu kelompok sosial tertentu. Namun akan dibahas hal-hal yang bersifat umum saja.
Tujuan kita berkomunikasi kepada lawan bicara adalah untuk menyampaikan pesan dan menjalin hubungan sosial. Dalam penyampain pesan tersebut biasanya digunakan bahasa verbal atau nonverbal. Sedangkan komunikasi untuk menjalin hubungan sosial dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip kesantunan dengan beberapa strategi seperti menggunakan ungkapan kesantunan, ungkapan implisit, basa-basi dan penghalusan istilah. Strategi tersebut dilakukan dilakukan oleh pembicara dan lawan bicara agar pesan tersampaikan tanpa merusak hubungan sosial di antara keduanya. Namun demikian untuk mencapai dua tujuan komunikasi tersebut tidaklah mudah. Di satu sisi kita harus mematuhi prinsip komunikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman, di sisi lain kita harus melanggar prinsip-prinsip itu dengan berbasa-basi untuk menjaga hubungan sosial.[14]
Dalam proses komunikasi untuk tujuan pertama yakni menyampaikan pesan, ada beberapa prinsip yang harus dipahami oleh kedua belah pihak, yaitu:
1) Kuantitas, dalam ukuran kuantitas ini terkandung dua prinsip yaitu:
a) kedua belah pihak harus memberikan kontribusi pembicaraan yang memadai sehingga tidak ada salah satu pihak yang mendominasi
b) kedua belah pihak tidak boleh berbicara melebihi yang diperlukan, sehingga tidak ada salah satu pihak yang dianggap membual.
2) Kualitas, dalam ukuran kualitas ini terkandung prinsip:
a) kedua belah pihak tidak berbohong
b) tidak berbicara jika tidak punya bukti yang cukup
3) Hubungan, mengandung pengertian apa yang dikemukakan harus benar
4) Cara, artinya apa yang dikatakan harus jelas yang mengandung prinsip:
a) hindari ketidakjelasan
b) hindari ambiguitas
c) singkat
d) runtut
Dalam komunikasi untuk tujuan kedua yakni menjalin hubungan sosial tidak hanya faktor-faktor linguistik yang dipertimbangkan, namun faktor-faktor nonlinguistik juga memegang peranan penting, seperti faktor peran dan hubungan, usia, dan stratifikasi sosial.
Faktor peran dan hubungan misalnya komunikasi antara seorang atasan dan bawahan, seorang anak pada ayah, sesama teman akrab, masing-masing menuntut strategi komunikasi yang berbeda. Pertimbangan itu antara lain pemilihan kata yang tepat, bahasa tubuh, ekspresi, dan intonasi.
Di samping prinsip-prinsip nonlinguistik di atas ada faktor lain yang juga penting dalam berkomunikasi yaitu kesantunan. Sedikitnya terdapat tiga skala pengukur peringkat kesantunan. Ketiga macam skala itu adalah (1) skala kesantunan menurut Leech, (2) skala kesantunan menurut Brown and Levinson, dan (3) skala kesantunan menurut Robin Lakoff.[15]
Skala kesantunan Leech adalah sebagai berikut :
(1) skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian juga sebaliknya.
(2) skala pilihan, menunjuk kepada sedikit atau banyaknya pilihan yang disampaikan si penutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Demikian juga sebaliknya.
(3) skala ketidaklangsungan, menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung, akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu.
(4) skala keotoritasan, menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur. Semakin jauh jarak preringkat sosial antara penutur dan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun. Demikian juga sebaliknya.
(5) skala jarak sosial, menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur. Semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya akan semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian juga sebaliknya.
Skala kesantunan Brown and Levinson adalah sebagai berikut :
(1) skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosio kultural.
(2) skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur atau sering kali disebut dengan peringkat kekuasaan didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur.
(3) skala peringkat tindak tutur didasarkan atas kedudukan relatif antara tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya.
Skala kesantunan Robin Lakoff adalah sebagai berikut :
(1) skala formalitas, dinyatakan bahwa agar peserta tutur dapat merasa nyaman, tuturan tidak boleh memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh.
(2) skala ketidaktegasan atau disebut juga skala pilihan. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dan kaku karena dianggap tidak santun.
(3) skala kesekawanan atau kesamaan menunjukan bahwa agar dapat bersifat santun haruslah bersikap ramah dan selalu menganggap mitra tutur sebagai sahabat. [16]
Dalam masyarakat yang beragama Islam ada beberapa nilai dan norma berbahasa yang dapat dijadikan pedoman dalam berkomunikasi dengan orang lain, yaitu:
1) Berbicara dengan lemah lembut, seperti diungkapkan dalam Quran Surat Thaha: 44, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
2) Berbicara dengan santun, seperti terungkap dalam hadits riwayat Bukhari, “Setiap orang itu mempunyai kewajiban bersedekah setiap hari. Di antaranya memberikan boncengan kepada orang lain di atas kendaraannya, membantu mengangkatkan barang orang lain ke atas tunggangannya, atau sepotong kalimat yang diucapkan dengan baik dan santun.”
3) Tidak terlalu banyak berceloteh, seperti dalam hadits riwayat Tirmidzi, “Sesungguhnya orang yang paling kubenci dan paling jauh jaraknya dariku ialah penceloteh lagi banyak bicara.”
4) Tidak ghibah/menggunjing, seperti tertuang dalam Quran Surat Alhujurat ayat 12, “... Dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain....”
5) Tidak mengadu domba, seperti terdapat pada hadits riwayat Bukhari dan Muslim, “Tak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba.”
6) Tidak berbohong, “Sesungguhnya kejujuran itu mendatangkan kebaikan, dan kebaikan itu berujung kepada surga. Orang yang senantiasa berbuat jujur, niscaya tercatat sebagi orang jujur. Dan sesungguhnya kebohongan itu membawa kejelekan, dan kejelekan itu hanya berujung kepada neraka. Dan orang yang suka berbohong niscaya tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR Abu Daud)
7) Menghindari perdebatan yang berlebihan, “Aku menjamin sebuah istana di halaman surga bagi mereka yang meninggalkan perdebatan meskipun ia berhak untuk itu.” (HR Abu Daud)
8) Tidak mencaci maki, “Apabila ada yng mencaci maki kamu tentang apa yang dia ketahui pada dirimu, janganlah kamu mencaci maki dia tentang apa yang kamu ketahui pada dirinya karena pahalanya untuk kamu dan kecelakaan untuk dia.”
9) Tidak berbisik-bisik di depan orang lain, “Apabila berkumpul tiga orang, janganlah yang dua orang berbisi-bisik (bicara rahasia) dan meninggalkan orang yang ketiga.” (HR Bukhari)
10) Tidak memotong pembicaraan, “Suatu hari seorang Arab Badui datang menemui Rasulullah SAW, ia langsung memotong pembicaraan beliau dan bertanya tentang hari kiamat. Namun Rasulullah tetap melanjutkan hingga selesai pembicaraannya. Setelah itu baru beliau mencari si penanya tadi.” (HR Bukhari)
11) Tidak mengolok-olok, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka lebih baik dari pada yng mengolok-olok ...”
12) Tidak memanggil dengan gelar yang buruk, “... Dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk ...”
13) Menjaga rahasia, “Tiadalah seorang muslim menutupi rahasia saudaranya di dunia kecuali Allah menutupi pula rahasianya pada hari kiamat. (HR Muslim)[17]
[1] Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,,2008) h. 1309
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku_menyimpangl
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku_menyimpang
[4] Hassan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia (Jakarta, Rineka Cipta,1999) h. 65
[5] Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta ,Gramedia Pustaka Utama,1982) h. 17
[6] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka, 1988) h. 66-67
[7] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda, (Bandung Remaja Rosdakarya, 2006) h. 22
[8] Hidayat, op. cit.
[9] Ibid, h 26
[10] Onong Uchyana Effendy, Komunikasi, Teori dan Praktek, Remaja Rosdakarya, cet. Ke-13: Bandung, 2000, h 9
[11] Asep Ahmad Hidayat, op. cit. h. 28
[12]http://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku_menyimpang
[13]http://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku_menyimpang
[14] http://www.unej.ac.id/fakultas/sastra/sastra_en/jurnal/vol-02/syamsul.pdf
[15] Kunjana Rahardi, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia (Jakarta, Erlangga, 2010) h. 66
[16] Kunjana Rahardi, Pragmatik : Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia (Jakarta ,Erlangga, 2010) h. 66-70
[17] http:/ berbicaralah-yang-baik-atau-diam-adab.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar