Selasa, 15 Februari 2011

FILSAFAT ILMU AL-GHAZALI


PENDAHULUAN
Imam Al-Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Ia  adalah tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Ia juga memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam.
Sosok Al-Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa. Ia seorang ulama, pendidik, ahli pikir, dan pengarang yang produktif. Karya tulisnya ini tidak sedikit yang dialihbahasakan ke dalam berbagai bahasa di Eropa.
Al-Ghazali adalah sosok yang banyak melakukan perjalanan ke berbagai daerah yang begitu luas. Ia telah menggeluti pemikiran-pemikiran, mengkaji dengan detail filsafat dan teologi, sufi, bahkan ajaran-ajaran mistik gereja Kristen.[1]
Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengetahui secara lengkap sejarah hidup dan  pemikiran-pemikirannya yang berharga yang tersebar dalam karya tulisnya.
Untuk mengenal sekilas sejarah hidup, pemikiran-pemikiran, dan judul-judul karya tulis yang telah disusun oleh Al-Ghazali, penulis mencoba menyajikannya dalam makalah sederhana ini. Harapan penulis agar setiap pembaca yang mengikutinya, hendaknya dapat mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.
I.     Biografi dan Karya Tulis Al-Ghazali

1.    Biografi Al-Ghazali
Abu Hamid, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali Al-Tusi, al-Imam al-Jalil Hujjat al-Islam, lahir di Tus pada tahun 450 H/1059 M.[2] Ia mendapat julukan Abu Hamid karena salah seorang putanya yang meninggal sewaktu masih kecil, bernama Hamid. Ia terkenal dengan sebutan “Al-Ghazzali” dan “Al-Ghazali”.[3] Sebutan “Al-Ghazzali” didasarkan pada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya yaitu menenun. Adapun sebutan “Al-Ghazali” didasarkan pada daerah Ghazalah di Thusi, Khurasan, Persia (Iran), tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Ada juga yang mengatakan penisbatan namanya ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah. Anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).[4]
Ayah beliau gemar mempelajari ilmu tasawuf, karenanya ia (ayahnya) hanya mau makan dari hasil usahanya sendiri menenun wol dan menjualnya di kota Thusi.[5] Ia juga terkenal pencinta ilmu. Usai dari pekerjaannya, sering menghadiri ceramah yang diberikan para ulama. Setelah mendengar ceramah, ia selalu berdoa dengan kerendahan hatinya, untuk dianugerahi anak yang kelak menjadi seorang da’i dan ahli agama. Allah swt mengabulkan do’anya dengan dikaruniakan kepadanya dua orang putera dan beberapa puteri.[6] Ayah mereka wafat, saat usia Al-Ghazali diduga berusia 6 tahun.[7] Sebelum meninggal, ia mempercayakan pengasuhan Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad, kepada salah seorang teman sufinya untuk dididik dan dibimbingnya dengan baik. Ia menyatakan penyesalan mendalam akan keterbatasan pendidikannya, dan berharap tidak menimpa anak-anaknya. Oleh karenanya ia meninggalkan sejumlah bekal untuk pembiayaan pendidikan mereka.[8] Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”[9]
Teman sufi itu menanggung pendidikan kedua anak itu sampai bekal yang ditinggalkannya habis. Sufi yang juga menjalani kecenderungan hidup sufistik yang sederhana ini tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka, Al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya.[10] Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”[11]
Di madrasah inilah Al-Ghazali bertemu dengan Yusuf Al-Nassaj, seorang guru sufi ternama pada masa itu. Sepeninggal gurunya, Al-Ghazali belajar di Thus pada seorang ulama bernama Ahmad ibnu Muhammad Al-Razakani. Selanjutnya ia belajar kepada Abu Nashr Al-Isma’ily di Jurjan dan akhirnya ia masuk ke sekolah Nizhamiyah di Naisapur yang dipimpin oleh Imam Abu Al-Ma’ali ‘Abd Malik Al-Juwayni yang terkenal dengan julukan Imam Al-Haramain. Imam ini sangat menonjol kemahirannya dalam ilmu kalam al Asy’ary, bahkan ia pengikut setia aliran ini. Dari penganut madzhab Syafi’i inilah Al-Ghazali memperoleh ilmu fiqih, ilmu kalam, dan ilmu logika. Karena kecerdasan yang dimilikinya, semua ilmu tersebut dapat dikuasainya dalam waktu singkat. Di sini pula ia pernah belajar teori dan praktik tasawuf kepada Abu Ali Al-Fadhl ibnu Muhammad ibnu Ali Al-Farmadhi. Dengan demikian, semakin lengkaplah ilmu yang diterimanya di Naisapur.[12] Dengan kecerdasan dan daya analisis kritis yang luar biasa serta daya hafal yang kuat, ia memperlihatkan aktivitas studi yang mengagumkan. Imam Al-Haramain pun mengangkatnya menjadi asisten guru besar dalam memberi kuliah dan bimbingan kepada para mahasiswa, yang jumlah seluruhnya mencapai 400 orang.[13]
Setelah Al-Haramain wafat pada 25 Rabi’ul Akhir 478 H, Al-Ghazali pindah ke Mu’askar dan berhubungan baik dengan Nizham Al-Mulk, Perdana Menteri Sultan Bani Saljuk, yang kemudian mengangkatnya menjadi guru besar di sekolah Nizhamiyah Bagdad dan memintanya untuk pindah ke kota itu. Pengangkatannya ini terjadi saat Al-Ghazali berusia tiga puluhan tahun, didasarkan atas reputasi ilmiahnya yang begitu hebat.[14]
Di kota Bagdad, nama Al-Ghazali semakin populer. Ia banyak dikunjungi orang untuk ditimba ilmunya, dan mereka mengagumi kuliah dan dialog-dialognya, sehingga reputasi dan kharismanya mengalahkan para gubernur, para menteri, dan istana khilafah sendiri.[15] Di sini pula ia mulai berpolemik dengan golongan Ta’limiyah/Bathiniyah Isma’iliyah dan kaum filosof. Setelah meneliti filsafat dan menyusun kitab-kitab hasil penelitiannya ini, ia mengalihkan perhatiannya pada Ta’limiyah untuk menemuka ilmu yaqini sekaligus menjalankan tugas dari Khalifah untuk menyusun buku tentang hakikat mazhab mereka. Prestasi dalam melikuidasi pemikiran kaum Bathini ini memperkokoh gelar Hujjat al-Islam.
Al-Ghazali memang Hujjat al-Islam. Ia membela Islam dalam menolak orang-orang Nasrani, juga serangannya terhadap kaum Bathini dan kaum filosofi. Ia membentengi mazhab al-Asy’ariyah, walaupun ia mengritik kajian teoritik yang dilakukan oleh kaum Mutakallimin dan sikap mereka yang berlebih-lebihan dalam berdebat dan bermusuhan.[16]
Kekecewaannya terhadap tidak ditemukannya ilmu yaqini dan terhadap perkembangan situasi politik yang semakin memburuk, mendorongnya untuk mengkaji tasawuf. Pada periode ini ia menghadapi dilema berat dan menderita krisis rohani, apakah maju terus dengan segala risikonya menuju kepuasan, atau mundur yang berarti gagal total. Akibat krisis ini ia menderita sakit selama enam bulan sehingga dokter kehabisan daya mengobatinya. Sesudah diambil putusan yang pasti dan sembuh dari sakitnya, dengan berpura-pura akan menunaikan ibadah haji di hadapan Khalifah dan teman sejawatnya, ia keluar dari Bagdad pada tahun 488 H.[17]
Dari Bagdad ia mengembara ke Damaskus. Di Masjid Jami’ Damaskus, ia mengisolasi diri (‘uzlah) untuk beribadah dan ber-khalwat selama dua tahun. Pada tahun 490 H, ia menuju Palestina, berdoa di samping makam Nabi Ibrahim a.s. Kemudian ia berangkat ke Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah saw. Akhirnya ia terlepas dari kegoncangan jiwa ini dengan jalan tasawuf.
Setelah sembuh dari penyakit rohaninya ini, ia kembali memimpin Perguruan Tinggi Nizhamiyah di Bagdad atas desakan Perdana Menteri Fakhr Al-Mulk, anak Nizham Al-Mulk. Setelah Perdana Menteri ini terbunuh, ia kembali ke Thus tempat kelahirannya. Di sini ia membangun madrasah untuk mengajar tasawuf. Usaha ini ia lakukan sampai ia wafat pada Jumadil Akhir 505 H/8 Desember 1111 M. Ia wafat dalam usia 55 tahun.[18]
2.      Karya Tulis Al-Ghazali
Karya tulis Al-Ghazali sangat banyak. Di bawah ini hanya akan disebutkan beberapa karya ilmiahnya yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam.
Teologi
1.    Al-Munqidh min adh-Dhalal
2.    Al-Iqtishad fi al-I`tiqad
3.    Al-Risalah al-Qudsiyyah
4.    Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din
5.    Mizan al-Amal
6.    Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah
Tasawuf
1.    Ihya Ulumuddin
2.    Kimiya as-Sa'adah
3.    Misykah al-Anwar
Filsafat
1.    Maqasid al-Falasifah
2.    Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut
Fiqih
  • Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul
Logika
  1. Mi`yar al-Ilm
  2. al-Qistas al-Mustaqim
  3. Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq
II.      Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali
1.    Hakikat Ilmu dan Struktur Filsafat Ilmu Al-Ghazali
Dalam menentukan hakikat ilmu Al-Ghazali sependapat dengan gurunya, Al-Juwayni, yaitu bersifat nazari, yakni bahwa ilmu itu dihasilkan dari penalaran yang mendefinisikannya sangat sulit dan hanya bisa dikonsepsi dengan analisis/klasifikasi dan contoh. Meskipun dalam hal ini ia mengikuti gurunya, tetapi konsep dasar yang melatarbelakanginya berbeda, yaitu mengenai hakikat “ada” yang membentuk konsepnya mengenai hubungan lafazh, makna, dan definisi. Dari sini Al-Ghazali lebih banyak muncul sebagai seorang filosof daripada sebagai mutakallimin.[19] Terdapat empat derajat klasifikasi “ada” yaitu 1) sesuatu pada realitasnya sendiri, 2) dalam konsep mental, 3) dalam lafazh (ungkapan lisan), dan 4) dalam tulisan
Menurutnya, pengonsepsian hakikat ilmu lebih mudah dengan analisis/klasifikasi untuk memperoleh makna formal, dan dengan contoh untuk memperoleh makna esensial. Dengan analisis, ilmu berbeda dengan iradah (kehendak), qudrah (kemampuan) dan sifat jiwa lain, dan berbeda dengan i’tiqâd (presuposisi), zann (dugaan kuat), syak (skeptik), jahl (ketidaktahuan) dan berbeda dengan apa yang diperoleh bukan dengan pembuktian dan berawal dari skeptik.Dengan demikian, hakikat ilmu tidak cukup hanya dengan sesuainya kepercayaan atau pernyataan dan realitas objek, tetapi juga harus berdasarkan metode ilmiah tertentu yang berpangkal pada skeptik, dan putusan itu merupakan keyakinan yang pasti. Metode analitik dengan ketiga kriteria ilmu menyangkut aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang diajukan Al-Ghazali, dirumuskan oleh Ar-Razi bahwa ilmu adalah “putusan akal yang pasti dan sesuai dengan realitas objek berdasarkan metode ilmiah tertentu.”
Dari sudut struktur prosesial, ada sembilan langkah sistematik yang terbagi tiga sebagai bedikut:  
I.     Tahap Pra-Penelitian:
1.      Identifikasi masalah
2.      Penetapan tujuan penelitian (tercapainya ilmu)
3.      Introspeksi dan skeptik
II.  Tahap Proses Penelitian;
4.        Tahap ontologis dasar: Asumsi dasar (yaqiniyyah)
III.    Tahap Epistemologis:
5.        Metodologi (sarana dan cara) mencapai ilmu fase I
6.        Penyimpulan fase I (sebagian final, berupa ilmu yaqini atau dugaan kuat, sebagian tentatif)
7.        Aplikasi ilmu praksis atau zann (dugaan kuat) untuk penyempurnaan jiwa
8.        Tercapainya kasyf (musyahadah, yaqiniyyah) dan ilmu yaqini sebagai pembuktian dan ilmu final
IV.          Tahap Akhir (Aksiologi Akhir)
9.        Tercapainya kebahagiaan abadi (sa’adah abadiyyah)
2.    Ontologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali
            Esensi ontologi Al-Ghazali adalah Allah dan selain Allah. Ontologi filsafat ilmu Al-Ghazali tampak dari empat definisi mengenai ilmu yang dikemukakannya yaitu:
a.    Ilmu artinya adalah salinan (yang terhasilkan dalam mental subjek) yang sesuai dengan objek ilmu
b.    Ilmu adalah ketetapan zihn (akal) pada sesuatu dengan kepastian yang berdasarkan argumen bahwa ia begini atau bukan begini, dan kenyataan sesuatu itu demikian
c.    ‘Alim (yang mengetahui) adalah rumusan tentang kalbu yang padanya salinan hakikat segala sesuatu bertempat, ma’lum (yang diketahui) adalah rumusan tentang hakikat segala sesuatu, dan ilmu adalah rumusan tentang terhasilkannya salinan objek itu pada cermin (kalbu) .... Sebab ilmu adalah rumusan tentang sampainya hakikat itu ke dalam kalbu
d.   Ilmu adalah rumusan tentang pengambilan akal terhadap gambar-gambar objek akal dan kenyataannya pada dirinya, serta tercetaknya gambar-gambar itu pada akal
Berdasarkan keempat asumsi dasar itu, Al-Ghazali mengklasifikasikan “ada” ke dalam empat kategori gradual yaitu: “ada hakiki”, “ada dalam mental subjek yang mengetahui” (yang menjelmakan gambar atau salinan), “ada dalam lafazh lisan” dan “ada dalam tulisan.”[20]
Menurutnya, ilmu merupakan sebuah sistem pernyataan ilmiah yang akhirnya bermuara pada konsepsi. Di sinilah diperlukan alat definisi dan argumen.
3.    Epistemologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali
Al-Ghazali mengenal tiga sarana pokok bagi manusia untuk memperoleh ilmu, yaitu pancaindra (al-hawas al-khams) berikut khayal dan estimasi (wahm), akal, dan intuisi (dzauq). Pancaindra bekerja di dunia fisis-sensual, dan berhenti pada batas kawasan akal. Akal bekerja di kawasan abstrak dengan memanfaatkan input dari pancaindra melalui khayal dan wahm, dan berhenti pada kawasan tak terjangkau akal.
Ketiga sarana itu terlihat dari konsep Al-Ghazali mengenai struktur dan potensi-potensi jiwa manusia seperti dikemukakan di atas. Dalam konsep ini terlihat bahwa akal teoretis (‘alimah) merupakan inti hakikat manusia. Di satu pihak, ilmu yang terdapat pada akal teoretis itu menimbulkan motif (iradah), yang melalui akal praktis membangkitkan potensi diri (qudrah) untuk melahirkan gerak fisik. Di pihak lain ilmu muncul dari dua saluran, yaitu saluran luar, yakni wahm dan khayal dari pancaindra, dan saluran dalam, yakni ilham atau wahyu malaikat dari Allah.
Adapun cara mencapai ilmu menurut Al-Ghazali dijelaskan sebagai berikut. Ilmu yang muncul dalam qalbu manusia diperoleh dengan dua cara, yaitu daruri dan bukan daruri. Jenis pertama ada pada diri manusia sejak lahir secara potensial, tetapi baru muncul secara aktual ketika akal telah sempurna, dan ketika muncul salinan objek empiri-sensual dalam khayal yang dilihat akal. Jenis kedua muncul dengan dua cara, yaitu: a) tanpa diusahakan, seperti wahyu kepada nabi dan ilham kepada para wali, dan b) usaha langsung, baik berupa istidlal (mencari petunjuk), nazr (penalaran, penelitian dan kesimpulan), maupun ta’allum (belajar).[21]

4.    Aksiologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali
Dalam filsafat ilmu Al-Ghazali terdapat sedikitnya tujuh prinsip penerapan ilmu, yaitu: 1) prinsip objektivitas-kontekstualitas (namun tetap mempertimbangkan konteks sesuai tuntutan norma-norma etis-yuridis), 2) prinsip ilmu untuk amal dan kebahagiaan, 3) prinsip prioritas, 4) prinsip proporsionalitas, 5) prinsip ikhlas, 6) prinsip tanggung jawab moral dan profesional, dan 7) prinsip kerja sama ilmu dengan politik
Adapun strategi pengembangan ilmu Al-Ghazali mengandung prinsip sebagai berikut: 1) prinsip integralisme (baik terhadap ketiga pilar penyangga hakikat ilmu maupun terhadap disiplin-disiplin ilmu parsial), 2) prinsip trlilogi pengembangan ilmu (fakta/ontologis, metode/epistemologis, dan nilai etis-yuridis/aksiologis), 3) prinsip memperluas kawasan kemungkinan, 4) prinsip mengutamakan falsifikasi, 5) prinsip meminimalisasi pengkafiran dan memperluas rahmat, dan 6) prinsip substansialitas-utilitas.[22]
III. Analisis Kritis terhadap Pemikiran Al-Ghazali
Menurut Anwar (2007), filsafat ilmu seseorang, termasuk Al-Ghazali, hanya bisa dipahami dan dinilai secara akurat bila dianalisis secara kritis dan komprehensip dari kelima aspek, yaitu orisinalitas, korespondensi, koherensi-konsistensi dan karakteristik bentuk logika, implikasinya bagi perkembangan ilmu, dan konsekuensinya bagi perkembangan praksis manusia.
1.    Aspek Orisinalitas Pemikiran
Mengetahui orisinalitas itu tidak mudah. Sebab, kada masa Al-Ghazali, akumulasi ilmu-ilmu rasional dan ilmu keislaman sudah demikian memuncak dan mengarah pada stagnasi, sementara ilmu-ilmu empirik-sensual kurang mendapat perhatian. Filsafat ilmu Al-Ghazali di satu sisi di satu sisi merupakan responsi dan solusi terhadap realitas aktual pada masanya, sedangkan di sisi lain merupakan reformulasi dari solusi dan bahan-bahan ilmiah yang sudah terakumulasi, yang merupakan jawaban atas problem fundamental kefilsafatannya dalm menemukan kebenaran dan kebahagiaan abadi.
Dari aspek orisinalitasnya, filsafat ilmu Al-Ghazali bisa dipandang orisinal karena filsafatnya itu merupakan sebuah formula baru dalam sebuah sistem filsafat ilmu yang utuh.
2.    Aspek Korespondensi Kebenaran
Dari aspek korespondensi atau kesesuaian sistem pemikiran dengan realitas objeknya, disimpulkan bahwa filsafat ilmu Al-Ghazali memiliki korespondensi. Pertama, karena kelima pilar filsafatnya merupakan kebenaran objektif yang layak dipertahankan dan dikembangkan. Kelima pilar itu adalah: 1) bahwa ada sesuatu di luar mental subjek yang mempunyai esensi pada dirinya, 2) untuk mengetahui esensi segala sesuatu itu, selain Allah, ada jalannya, 3) manusia sebagai subjek ilmu mempunyai kapabilitas yang cukup untuk menelusuri jalan itu, 4) bahwa tangkapan/representasi objek pada mental subjek dan pernyataannya, berdasarkan metode ilmiah tertentu, itulah hakikat ilmu, dan 5) bahwa ilmu adalah untuk kemajuan dan kebahagiaan manusia sesuai hakikat dan fungsinya di tengah alam semesta. Kedua, sifat esensial filsafatnya yang moderat (sintetik-integralistik), di samping rasional, radikal-esensial dan lugas, tampak dalam semua dimensi dan aspek filsafat ilmunya. Ketiga, konsep-konsepnya cocok dengan realitasnya sendiri. Konsep Al-Ghazali mengenai dunia fisis tentang esensi, sifat esensial sesuatu, hubungan kausal dan koneksial satu sama lain, sesuai dengan realitas sebagaimana diamati pancaindra dan dipahami akal.[23]
3.      Aspek Konsistensi Logis
Dari aspek koherensi-konsistensi, filsafat ilmu Al-Ghazali memenuhi kriteria koheren-konsisten. Ungkapannya dalam beberapa kitab yang tampak seperti kontradiksi, dikarenakan tendensi yang kuat untuk sintesisasi-integralisasi dan perbedaan penekanan.[24]
4.      Implikasi Teoritis
Implikasinya bagi perkembangan ilmu di Timur terlihat dari menyatunya teologi, filsafat, tasawuf, dan fiqih, serta mendekatnya Sunni dan Syi’i. Sedangkan di Barat, filsafat ilmu Al-Ghazali memberikan kontribusi intelektual bagi timbulnya renessans Eropa. Pengaruh filsafatnya itu masuk melalui kitab-kitabnya yang dikaji para tokoh Barat dan melalui Ibnu Rusyd yang merupakan Gazalisme minus prinsip-prinsip ilmiah dan sufisme.

5.      Konsekuensi bagi Kehidupan Praktis Manusia
Konsekuensinya bagi kehidupan praksis manusia, filsafat ilmu Al-Ghazali kelihatannya dapat memecahkan problem kehidupan manusia dewasa ini dalam dimensi moral dan spiritual. Hal ini dimungkinkan apabila filsafat ilmunya diterapkan secara total-integral antara abstrak-metafisis dengan konkret material secara seimbang, tidak sebagian-sebagian.[25]
PENUTUP
Hakikat ilmu menurut Al-Ghazali adalah dihasilkannya salinan objek pada mental subjek sebagaiman realitas objek itu sendiri, dinyatakan dalam bentuk proposisi berdasarkan metode ilmiah tertentu untuk kemajuan dan kebahagiaan manusia.
Ontologi ilmu filsafat Al-Ghazali mencakup dunia fisis, dunia proses mental, dunia metafisis, dan realitas mutlak. Sumber ilmunya mencakup empiri sensual, penalaran rasional, dan wahyu yang bukti kebenarannya berakar pada realitas empirik-rasional.
Epistemologi istem Sembilan Tahap” yang terdiri atas tiga fase, yaitu fase pra-penelitian (penetapan prinsip-prinsip ilmiah), fase epistemologi I (penalaran rasional berdasarkan data empirik-sensual atau teks wahyu), dan fase epistemologi II (penyingkapan) melalui latihan dan perjuangan berupa pembersihan diri dari segala sifat dan akhlak tercela, pengisian diri dengan dengan akhlak terpuji, termasuk dkikir dan meditasi.
Dalam aksiologi filsafat ilmu Al-Ghazali terdapat sedikitnya tujuh prinsip penerapan ilmu, yaitu: 1) prinsip objektivitas-kontekstualitas (namun tetap mempertimbangkan konteks sesuai tuntutan norma-norma etis-yuridis), 2) prinsip ilmu untuk amal dan kebahagiaan, 3) prinsip prioritas, 4) prinsip proporsionalitas, 5) prinsip ikhlas, 6) prinsip tanggung jawab moral dan profesional, dan 7) prinsip kerja sama ilmu dengan politik.
 Bila dianalisis secara kritis dan komprehensip dari kelima aspek, yaitu orisinalitas, korespondensi, koherensi-konsistensi dan karakteristik bentuk logika, implikasinya bagi perkembangan ilmu, dan konsekuensinya bagi perkembangan praksis manusia, pemikiran Al-Ghazali layak dikatakan sebagai filsafat.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung, Pustaka Setia
Madkour, Ibrahim. 1995. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tatbiqub al-Juz al-Sani. Terjemahan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan Judul Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Smith, Margareth. Al-Ghazali-The Miystic. 2000. Terjemahan oleh Amrouni dengan judul Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali. Jakarta: Riora Cipta
Supriadi, Dedi.2009. Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya. Bandung: Pustaka Setia
Zar, Sirajuddin. 2010. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali Pers


[1] Margareth Smith, Al-Ghazali-The Miystic. 2000. Terjemahan oleh Amrouni dengan judul Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali. (Jakarta: Riora Cipta, 2000) h. 259

[2] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2007)  h. 50
[3] Saeful Anwar, loc. cit
[5]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers,2010) h. 155
[6] Margareth Smith, Al-Ghazali-The Miystic, Terjemahan oleh Amrouni dengan judul Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali (Jakarta: Riora Cipta, 2000) h. 2
[7] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2007)  h. 51

[8] Margareth Smith, loc. cit
[10] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers,2010) h. 156
[12] Sirajuddin Zar, op. cit. h.156
[13] Saiful Anwar, op. cit. h. 53
[14] Sirajuddin Zar, op. cit. h. 157
[15] Saiful Anwar, op. cit. h. 59
[16] Ibrahim Makdour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tatbiqub al-Juz al-Sani. Terjemahan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan Judul Aliran dan Teori Filsafat Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) h. 73

[17] Ibid, h. 62
[18] Sirajuddin Zar, op. cit. h. 158
[19] Saiful Anwar, op. cit. h.93
[20] Ibid h. 125
[21] Ibid, h. 199
[22] Ibid, h. 329-336
[23] Ibid, h. 340-362
[24] Ibid, h. 396-398
[25] Ibid, h. 396

Tidak ada komentar:

Posting Komentar