Kamis, 17 Februari 2011

Berinovasi, Siapa Takut?


Seiring dengan perubahan zaman, dalam dunia pendidikan telah terjadi perubahan paradigma dalam pembelajaran. Perubahan itu antara lain berupa pergeseran paradigma dari pengajaran ke pembelajaran dan pergantian pusat pembelajaran dari berpusat pada guru ke berpusat pada siswa.
Kondisi tersebut menuntut guru untuk bersikap terbuka terhadap segala perubahan. Guru harus menjadi figur inspiratif dan memberikan motivasi bagi keberhasilan anak didik. Ia memikul  tugas dan tanggung jawab besar sehingga diperlukan profesionalisme yang tinggi dalam menyiapkan generasi penerus bangsa menuju gerbang pencerahan.
Namun demikian, sebagian besar kita - guru yang dijadikan tumpuan harapan itu - masih senang dengan status quo, alergi terhadap perubahan yang inovatif. Kita lebih suka dengan zona aman karena telah merasa nyaman dengan pembelajaran tradisional yang tidak menuntut banyak kreativitas guru.
Menurut Prayitno (dalam Asmani, 2009) ada fenomena kritik yang dilontarkan di tengah masyarakat terhadap keberadaan guru yang terkesan “tidak berdaya” menghadapi derasnya arus globalisasi. Fenomena tersebut antara lain:
1.    Masih adanya guru yang asing bahkan sinis terhadap inovasi, tapi suka menganggukkan kepala tanda setuju tanpa memikirkan secara mendalam makna anggukan kepala tersebut. Guru pun terlihat “kebingungan” ketika datang suatu perubahan tanpa mencerna terlebih dahulu makna perubahan itu.
2.    Masih adanya guru yang senang dan bangga menjadi satu-satunya sumber belajar tanpa berpikir perlunya berinteraksi dengan “makhluk” lain selain dirinya. Menjadi pewarta materi tanpa keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran juga menjadi kebanggaannya.
Ada beberapa aspek yang menyebabkan guru sulit menerima perubahan untuk berinovasi dalam pembelajaran sebagaimana dikemukakan oleh Suyatno (2009). Penyebab itu antara lain adalah:
1.    Guru merasa takut salah dan tidak percaya diri dalam menerapkan pembelajaran inovatif.
2.    Guru takut dicela dan dianggap sok maju oleh temannya.
3.    Guru takut kalau waktu yang tersedia untuk pembelajaran tidak cukup untuk digunakan berinovasi.
4.    Guru takut sibuk dengan tugas tambahan akibat inovasi pembelajaran
Padahal tantangan global menuntut guru mampu membuktikan dirinya sebagai sosok yang dinamis, responsif, progresif, produktif, dan kompetitif. Era globalisasi - dengan berbagai tantangan yang ada - meniscayakan guru proaktif mengejar informasi, memperluas wawasan dan pemikiran, mengembangkan relasi profesional, dan meningkatkan kualitas pembelajaran.
Adalah tidak bijak bila kita masih takut berinovasi. Kita harus cepat melakukan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Selain beradaptasi kita juga harus cepat merespon tantangan yang ada dengan melakukan langkah-langkah antisipasi. Jangan sampai kita pasif, stagnan, dan status quo. Jika tidak, maka kita akan digilas zaman yang terus melaju dengan kencangnya.
Jadi masih pantaskah kita takut melakukan perubahan?

Selasa, 15 Februari 2011

FILSAFAT ILMU AL-GHAZALI


PENDAHULUAN
Imam Al-Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Ia  adalah tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Ia juga memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam.
Sosok Al-Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa. Ia seorang ulama, pendidik, ahli pikir, dan pengarang yang produktif. Karya tulisnya ini tidak sedikit yang dialihbahasakan ke dalam berbagai bahasa di Eropa.
Al-Ghazali adalah sosok yang banyak melakukan perjalanan ke berbagai daerah yang begitu luas. Ia telah menggeluti pemikiran-pemikiran, mengkaji dengan detail filsafat dan teologi, sufi, bahkan ajaran-ajaran mistik gereja Kristen.[1]
Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengetahui secara lengkap sejarah hidup dan  pemikiran-pemikirannya yang berharga yang tersebar dalam karya tulisnya.
Untuk mengenal sekilas sejarah hidup, pemikiran-pemikiran, dan judul-judul karya tulis yang telah disusun oleh Al-Ghazali, penulis mencoba menyajikannya dalam makalah sederhana ini. Harapan penulis agar setiap pembaca yang mengikutinya, hendaknya dapat mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.
I.     Biografi dan Karya Tulis Al-Ghazali

1.    Biografi Al-Ghazali
Abu Hamid, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali Al-Tusi, al-Imam al-Jalil Hujjat al-Islam, lahir di Tus pada tahun 450 H/1059 M.[2] Ia mendapat julukan Abu Hamid karena salah seorang putanya yang meninggal sewaktu masih kecil, bernama Hamid. Ia terkenal dengan sebutan “Al-Ghazzali” dan “Al-Ghazali”.[3] Sebutan “Al-Ghazzali” didasarkan pada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya yaitu menenun. Adapun sebutan “Al-Ghazali” didasarkan pada daerah Ghazalah di Thusi, Khurasan, Persia (Iran), tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Ada juga yang mengatakan penisbatan namanya ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah. Anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).[4]
Ayah beliau gemar mempelajari ilmu tasawuf, karenanya ia (ayahnya) hanya mau makan dari hasil usahanya sendiri menenun wol dan menjualnya di kota Thusi.[5] Ia juga terkenal pencinta ilmu. Usai dari pekerjaannya, sering menghadiri ceramah yang diberikan para ulama. Setelah mendengar ceramah, ia selalu berdoa dengan kerendahan hatinya, untuk dianugerahi anak yang kelak menjadi seorang da’i dan ahli agama. Allah swt mengabulkan do’anya dengan dikaruniakan kepadanya dua orang putera dan beberapa puteri.[6] Ayah mereka wafat, saat usia Al-Ghazali diduga berusia 6 tahun.[7] Sebelum meninggal, ia mempercayakan pengasuhan Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad, kepada salah seorang teman sufinya untuk dididik dan dibimbingnya dengan baik. Ia menyatakan penyesalan mendalam akan keterbatasan pendidikannya, dan berharap tidak menimpa anak-anaknya. Oleh karenanya ia meninggalkan sejumlah bekal untuk pembiayaan pendidikan mereka.[8] Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”[9]
Teman sufi itu menanggung pendidikan kedua anak itu sampai bekal yang ditinggalkannya habis. Sufi yang juga menjalani kecenderungan hidup sufistik yang sederhana ini tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka, Al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya.[10] Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”[11]
Di madrasah inilah Al-Ghazali bertemu dengan Yusuf Al-Nassaj, seorang guru sufi ternama pada masa itu. Sepeninggal gurunya, Al-Ghazali belajar di Thus pada seorang ulama bernama Ahmad ibnu Muhammad Al-Razakani. Selanjutnya ia belajar kepada Abu Nashr Al-Isma’ily di Jurjan dan akhirnya ia masuk ke sekolah Nizhamiyah di Naisapur yang dipimpin oleh Imam Abu Al-Ma’ali ‘Abd Malik Al-Juwayni yang terkenal dengan julukan Imam Al-Haramain. Imam ini sangat menonjol kemahirannya dalam ilmu kalam al Asy’ary, bahkan ia pengikut setia aliran ini. Dari penganut madzhab Syafi’i inilah Al-Ghazali memperoleh ilmu fiqih, ilmu kalam, dan ilmu logika. Karena kecerdasan yang dimilikinya, semua ilmu tersebut dapat dikuasainya dalam waktu singkat. Di sini pula ia pernah belajar teori dan praktik tasawuf kepada Abu Ali Al-Fadhl ibnu Muhammad ibnu Ali Al-Farmadhi. Dengan demikian, semakin lengkaplah ilmu yang diterimanya di Naisapur.[12] Dengan kecerdasan dan daya analisis kritis yang luar biasa serta daya hafal yang kuat, ia memperlihatkan aktivitas studi yang mengagumkan. Imam Al-Haramain pun mengangkatnya menjadi asisten guru besar dalam memberi kuliah dan bimbingan kepada para mahasiswa, yang jumlah seluruhnya mencapai 400 orang.[13]
Setelah Al-Haramain wafat pada 25 Rabi’ul Akhir 478 H, Al-Ghazali pindah ke Mu’askar dan berhubungan baik dengan Nizham Al-Mulk, Perdana Menteri Sultan Bani Saljuk, yang kemudian mengangkatnya menjadi guru besar di sekolah Nizhamiyah Bagdad dan memintanya untuk pindah ke kota itu. Pengangkatannya ini terjadi saat Al-Ghazali berusia tiga puluhan tahun, didasarkan atas reputasi ilmiahnya yang begitu hebat.[14]
Di kota Bagdad, nama Al-Ghazali semakin populer. Ia banyak dikunjungi orang untuk ditimba ilmunya, dan mereka mengagumi kuliah dan dialog-dialognya, sehingga reputasi dan kharismanya mengalahkan para gubernur, para menteri, dan istana khilafah sendiri.[15] Di sini pula ia mulai berpolemik dengan golongan Ta’limiyah/Bathiniyah Isma’iliyah dan kaum filosof. Setelah meneliti filsafat dan menyusun kitab-kitab hasil penelitiannya ini, ia mengalihkan perhatiannya pada Ta’limiyah untuk menemuka ilmu yaqini sekaligus menjalankan tugas dari Khalifah untuk menyusun buku tentang hakikat mazhab mereka. Prestasi dalam melikuidasi pemikiran kaum Bathini ini memperkokoh gelar Hujjat al-Islam.
Al-Ghazali memang Hujjat al-Islam. Ia membela Islam dalam menolak orang-orang Nasrani, juga serangannya terhadap kaum Bathini dan kaum filosofi. Ia membentengi mazhab al-Asy’ariyah, walaupun ia mengritik kajian teoritik yang dilakukan oleh kaum Mutakallimin dan sikap mereka yang berlebih-lebihan dalam berdebat dan bermusuhan.[16]
Kekecewaannya terhadap tidak ditemukannya ilmu yaqini dan terhadap perkembangan situasi politik yang semakin memburuk, mendorongnya untuk mengkaji tasawuf. Pada periode ini ia menghadapi dilema berat dan menderita krisis rohani, apakah maju terus dengan segala risikonya menuju kepuasan, atau mundur yang berarti gagal total. Akibat krisis ini ia menderita sakit selama enam bulan sehingga dokter kehabisan daya mengobatinya. Sesudah diambil putusan yang pasti dan sembuh dari sakitnya, dengan berpura-pura akan menunaikan ibadah haji di hadapan Khalifah dan teman sejawatnya, ia keluar dari Bagdad pada tahun 488 H.[17]
Dari Bagdad ia mengembara ke Damaskus. Di Masjid Jami’ Damaskus, ia mengisolasi diri (‘uzlah) untuk beribadah dan ber-khalwat selama dua tahun. Pada tahun 490 H, ia menuju Palestina, berdoa di samping makam Nabi Ibrahim a.s. Kemudian ia berangkat ke Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah saw. Akhirnya ia terlepas dari kegoncangan jiwa ini dengan jalan tasawuf.
Setelah sembuh dari penyakit rohaninya ini, ia kembali memimpin Perguruan Tinggi Nizhamiyah di Bagdad atas desakan Perdana Menteri Fakhr Al-Mulk, anak Nizham Al-Mulk. Setelah Perdana Menteri ini terbunuh, ia kembali ke Thus tempat kelahirannya. Di sini ia membangun madrasah untuk mengajar tasawuf. Usaha ini ia lakukan sampai ia wafat pada Jumadil Akhir 505 H/8 Desember 1111 M. Ia wafat dalam usia 55 tahun.[18]
2.      Karya Tulis Al-Ghazali
Karya tulis Al-Ghazali sangat banyak. Di bawah ini hanya akan disebutkan beberapa karya ilmiahnya yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam.
Teologi
1.    Al-Munqidh min adh-Dhalal
2.    Al-Iqtishad fi al-I`tiqad
3.    Al-Risalah al-Qudsiyyah
4.    Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din
5.    Mizan al-Amal
6.    Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah
Tasawuf
1.    Ihya Ulumuddin
2.    Kimiya as-Sa'adah
3.    Misykah al-Anwar
Filsafat
1.    Maqasid al-Falasifah
2.    Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut
Fiqih
  • Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul
Logika
  1. Mi`yar al-Ilm
  2. al-Qistas al-Mustaqim
  3. Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq
II.      Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali
1.    Hakikat Ilmu dan Struktur Filsafat Ilmu Al-Ghazali
Dalam menentukan hakikat ilmu Al-Ghazali sependapat dengan gurunya, Al-Juwayni, yaitu bersifat nazari, yakni bahwa ilmu itu dihasilkan dari penalaran yang mendefinisikannya sangat sulit dan hanya bisa dikonsepsi dengan analisis/klasifikasi dan contoh. Meskipun dalam hal ini ia mengikuti gurunya, tetapi konsep dasar yang melatarbelakanginya berbeda, yaitu mengenai hakikat “ada” yang membentuk konsepnya mengenai hubungan lafazh, makna, dan definisi. Dari sini Al-Ghazali lebih banyak muncul sebagai seorang filosof daripada sebagai mutakallimin.[19] Terdapat empat derajat klasifikasi “ada” yaitu 1) sesuatu pada realitasnya sendiri, 2) dalam konsep mental, 3) dalam lafazh (ungkapan lisan), dan 4) dalam tulisan
Menurutnya, pengonsepsian hakikat ilmu lebih mudah dengan analisis/klasifikasi untuk memperoleh makna formal, dan dengan contoh untuk memperoleh makna esensial. Dengan analisis, ilmu berbeda dengan iradah (kehendak), qudrah (kemampuan) dan sifat jiwa lain, dan berbeda dengan i’tiqâd (presuposisi), zann (dugaan kuat), syak (skeptik), jahl (ketidaktahuan) dan berbeda dengan apa yang diperoleh bukan dengan pembuktian dan berawal dari skeptik.Dengan demikian, hakikat ilmu tidak cukup hanya dengan sesuainya kepercayaan atau pernyataan dan realitas objek, tetapi juga harus berdasarkan metode ilmiah tertentu yang berpangkal pada skeptik, dan putusan itu merupakan keyakinan yang pasti. Metode analitik dengan ketiga kriteria ilmu menyangkut aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang diajukan Al-Ghazali, dirumuskan oleh Ar-Razi bahwa ilmu adalah “putusan akal yang pasti dan sesuai dengan realitas objek berdasarkan metode ilmiah tertentu.”
Dari sudut struktur prosesial, ada sembilan langkah sistematik yang terbagi tiga sebagai bedikut:  
I.     Tahap Pra-Penelitian:
1.      Identifikasi masalah
2.      Penetapan tujuan penelitian (tercapainya ilmu)
3.      Introspeksi dan skeptik
II.  Tahap Proses Penelitian;
4.        Tahap ontologis dasar: Asumsi dasar (yaqiniyyah)
III.    Tahap Epistemologis:
5.        Metodologi (sarana dan cara) mencapai ilmu fase I
6.        Penyimpulan fase I (sebagian final, berupa ilmu yaqini atau dugaan kuat, sebagian tentatif)
7.        Aplikasi ilmu praksis atau zann (dugaan kuat) untuk penyempurnaan jiwa
8.        Tercapainya kasyf (musyahadah, yaqiniyyah) dan ilmu yaqini sebagai pembuktian dan ilmu final
IV.          Tahap Akhir (Aksiologi Akhir)
9.        Tercapainya kebahagiaan abadi (sa’adah abadiyyah)
2.    Ontologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali
            Esensi ontologi Al-Ghazali adalah Allah dan selain Allah. Ontologi filsafat ilmu Al-Ghazali tampak dari empat definisi mengenai ilmu yang dikemukakannya yaitu:
a.    Ilmu artinya adalah salinan (yang terhasilkan dalam mental subjek) yang sesuai dengan objek ilmu
b.    Ilmu adalah ketetapan zihn (akal) pada sesuatu dengan kepastian yang berdasarkan argumen bahwa ia begini atau bukan begini, dan kenyataan sesuatu itu demikian
c.    ‘Alim (yang mengetahui) adalah rumusan tentang kalbu yang padanya salinan hakikat segala sesuatu bertempat, ma’lum (yang diketahui) adalah rumusan tentang hakikat segala sesuatu, dan ilmu adalah rumusan tentang terhasilkannya salinan objek itu pada cermin (kalbu) .... Sebab ilmu adalah rumusan tentang sampainya hakikat itu ke dalam kalbu
d.   Ilmu adalah rumusan tentang pengambilan akal terhadap gambar-gambar objek akal dan kenyataannya pada dirinya, serta tercetaknya gambar-gambar itu pada akal
Berdasarkan keempat asumsi dasar itu, Al-Ghazali mengklasifikasikan “ada” ke dalam empat kategori gradual yaitu: “ada hakiki”, “ada dalam mental subjek yang mengetahui” (yang menjelmakan gambar atau salinan), “ada dalam lafazh lisan” dan “ada dalam tulisan.”[20]
Menurutnya, ilmu merupakan sebuah sistem pernyataan ilmiah yang akhirnya bermuara pada konsepsi. Di sinilah diperlukan alat definisi dan argumen.
3.    Epistemologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali
Al-Ghazali mengenal tiga sarana pokok bagi manusia untuk memperoleh ilmu, yaitu pancaindra (al-hawas al-khams) berikut khayal dan estimasi (wahm), akal, dan intuisi (dzauq). Pancaindra bekerja di dunia fisis-sensual, dan berhenti pada batas kawasan akal. Akal bekerja di kawasan abstrak dengan memanfaatkan input dari pancaindra melalui khayal dan wahm, dan berhenti pada kawasan tak terjangkau akal.
Ketiga sarana itu terlihat dari konsep Al-Ghazali mengenai struktur dan potensi-potensi jiwa manusia seperti dikemukakan di atas. Dalam konsep ini terlihat bahwa akal teoretis (‘alimah) merupakan inti hakikat manusia. Di satu pihak, ilmu yang terdapat pada akal teoretis itu menimbulkan motif (iradah), yang melalui akal praktis membangkitkan potensi diri (qudrah) untuk melahirkan gerak fisik. Di pihak lain ilmu muncul dari dua saluran, yaitu saluran luar, yakni wahm dan khayal dari pancaindra, dan saluran dalam, yakni ilham atau wahyu malaikat dari Allah.
Adapun cara mencapai ilmu menurut Al-Ghazali dijelaskan sebagai berikut. Ilmu yang muncul dalam qalbu manusia diperoleh dengan dua cara, yaitu daruri dan bukan daruri. Jenis pertama ada pada diri manusia sejak lahir secara potensial, tetapi baru muncul secara aktual ketika akal telah sempurna, dan ketika muncul salinan objek empiri-sensual dalam khayal yang dilihat akal. Jenis kedua muncul dengan dua cara, yaitu: a) tanpa diusahakan, seperti wahyu kepada nabi dan ilham kepada para wali, dan b) usaha langsung, baik berupa istidlal (mencari petunjuk), nazr (penalaran, penelitian dan kesimpulan), maupun ta’allum (belajar).[21]

4.    Aksiologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali
Dalam filsafat ilmu Al-Ghazali terdapat sedikitnya tujuh prinsip penerapan ilmu, yaitu: 1) prinsip objektivitas-kontekstualitas (namun tetap mempertimbangkan konteks sesuai tuntutan norma-norma etis-yuridis), 2) prinsip ilmu untuk amal dan kebahagiaan, 3) prinsip prioritas, 4) prinsip proporsionalitas, 5) prinsip ikhlas, 6) prinsip tanggung jawab moral dan profesional, dan 7) prinsip kerja sama ilmu dengan politik
Adapun strategi pengembangan ilmu Al-Ghazali mengandung prinsip sebagai berikut: 1) prinsip integralisme (baik terhadap ketiga pilar penyangga hakikat ilmu maupun terhadap disiplin-disiplin ilmu parsial), 2) prinsip trlilogi pengembangan ilmu (fakta/ontologis, metode/epistemologis, dan nilai etis-yuridis/aksiologis), 3) prinsip memperluas kawasan kemungkinan, 4) prinsip mengutamakan falsifikasi, 5) prinsip meminimalisasi pengkafiran dan memperluas rahmat, dan 6) prinsip substansialitas-utilitas.[22]
III. Analisis Kritis terhadap Pemikiran Al-Ghazali
Menurut Anwar (2007), filsafat ilmu seseorang, termasuk Al-Ghazali, hanya bisa dipahami dan dinilai secara akurat bila dianalisis secara kritis dan komprehensip dari kelima aspek, yaitu orisinalitas, korespondensi, koherensi-konsistensi dan karakteristik bentuk logika, implikasinya bagi perkembangan ilmu, dan konsekuensinya bagi perkembangan praksis manusia.
1.    Aspek Orisinalitas Pemikiran
Mengetahui orisinalitas itu tidak mudah. Sebab, kada masa Al-Ghazali, akumulasi ilmu-ilmu rasional dan ilmu keislaman sudah demikian memuncak dan mengarah pada stagnasi, sementara ilmu-ilmu empirik-sensual kurang mendapat perhatian. Filsafat ilmu Al-Ghazali di satu sisi di satu sisi merupakan responsi dan solusi terhadap realitas aktual pada masanya, sedangkan di sisi lain merupakan reformulasi dari solusi dan bahan-bahan ilmiah yang sudah terakumulasi, yang merupakan jawaban atas problem fundamental kefilsafatannya dalm menemukan kebenaran dan kebahagiaan abadi.
Dari aspek orisinalitasnya, filsafat ilmu Al-Ghazali bisa dipandang orisinal karena filsafatnya itu merupakan sebuah formula baru dalam sebuah sistem filsafat ilmu yang utuh.
2.    Aspek Korespondensi Kebenaran
Dari aspek korespondensi atau kesesuaian sistem pemikiran dengan realitas objeknya, disimpulkan bahwa filsafat ilmu Al-Ghazali memiliki korespondensi. Pertama, karena kelima pilar filsafatnya merupakan kebenaran objektif yang layak dipertahankan dan dikembangkan. Kelima pilar itu adalah: 1) bahwa ada sesuatu di luar mental subjek yang mempunyai esensi pada dirinya, 2) untuk mengetahui esensi segala sesuatu itu, selain Allah, ada jalannya, 3) manusia sebagai subjek ilmu mempunyai kapabilitas yang cukup untuk menelusuri jalan itu, 4) bahwa tangkapan/representasi objek pada mental subjek dan pernyataannya, berdasarkan metode ilmiah tertentu, itulah hakikat ilmu, dan 5) bahwa ilmu adalah untuk kemajuan dan kebahagiaan manusia sesuai hakikat dan fungsinya di tengah alam semesta. Kedua, sifat esensial filsafatnya yang moderat (sintetik-integralistik), di samping rasional, radikal-esensial dan lugas, tampak dalam semua dimensi dan aspek filsafat ilmunya. Ketiga, konsep-konsepnya cocok dengan realitasnya sendiri. Konsep Al-Ghazali mengenai dunia fisis tentang esensi, sifat esensial sesuatu, hubungan kausal dan koneksial satu sama lain, sesuai dengan realitas sebagaimana diamati pancaindra dan dipahami akal.[23]
3.      Aspek Konsistensi Logis
Dari aspek koherensi-konsistensi, filsafat ilmu Al-Ghazali memenuhi kriteria koheren-konsisten. Ungkapannya dalam beberapa kitab yang tampak seperti kontradiksi, dikarenakan tendensi yang kuat untuk sintesisasi-integralisasi dan perbedaan penekanan.[24]
4.      Implikasi Teoritis
Implikasinya bagi perkembangan ilmu di Timur terlihat dari menyatunya teologi, filsafat, tasawuf, dan fiqih, serta mendekatnya Sunni dan Syi’i. Sedangkan di Barat, filsafat ilmu Al-Ghazali memberikan kontribusi intelektual bagi timbulnya renessans Eropa. Pengaruh filsafatnya itu masuk melalui kitab-kitabnya yang dikaji para tokoh Barat dan melalui Ibnu Rusyd yang merupakan Gazalisme minus prinsip-prinsip ilmiah dan sufisme.

5.      Konsekuensi bagi Kehidupan Praktis Manusia
Konsekuensinya bagi kehidupan praksis manusia, filsafat ilmu Al-Ghazali kelihatannya dapat memecahkan problem kehidupan manusia dewasa ini dalam dimensi moral dan spiritual. Hal ini dimungkinkan apabila filsafat ilmunya diterapkan secara total-integral antara abstrak-metafisis dengan konkret material secara seimbang, tidak sebagian-sebagian.[25]
PENUTUP
Hakikat ilmu menurut Al-Ghazali adalah dihasilkannya salinan objek pada mental subjek sebagaiman realitas objek itu sendiri, dinyatakan dalam bentuk proposisi berdasarkan metode ilmiah tertentu untuk kemajuan dan kebahagiaan manusia.
Ontologi ilmu filsafat Al-Ghazali mencakup dunia fisis, dunia proses mental, dunia metafisis, dan realitas mutlak. Sumber ilmunya mencakup empiri sensual, penalaran rasional, dan wahyu yang bukti kebenarannya berakar pada realitas empirik-rasional.
Epistemologi istem Sembilan Tahap” yang terdiri atas tiga fase, yaitu fase pra-penelitian (penetapan prinsip-prinsip ilmiah), fase epistemologi I (penalaran rasional berdasarkan data empirik-sensual atau teks wahyu), dan fase epistemologi II (penyingkapan) melalui latihan dan perjuangan berupa pembersihan diri dari segala sifat dan akhlak tercela, pengisian diri dengan dengan akhlak terpuji, termasuk dkikir dan meditasi.
Dalam aksiologi filsafat ilmu Al-Ghazali terdapat sedikitnya tujuh prinsip penerapan ilmu, yaitu: 1) prinsip objektivitas-kontekstualitas (namun tetap mempertimbangkan konteks sesuai tuntutan norma-norma etis-yuridis), 2) prinsip ilmu untuk amal dan kebahagiaan, 3) prinsip prioritas, 4) prinsip proporsionalitas, 5) prinsip ikhlas, 6) prinsip tanggung jawab moral dan profesional, dan 7) prinsip kerja sama ilmu dengan politik.
 Bila dianalisis secara kritis dan komprehensip dari kelima aspek, yaitu orisinalitas, korespondensi, koherensi-konsistensi dan karakteristik bentuk logika, implikasinya bagi perkembangan ilmu, dan konsekuensinya bagi perkembangan praksis manusia, pemikiran Al-Ghazali layak dikatakan sebagai filsafat.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung, Pustaka Setia
Madkour, Ibrahim. 1995. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tatbiqub al-Juz al-Sani. Terjemahan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan Judul Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Smith, Margareth. Al-Ghazali-The Miystic. 2000. Terjemahan oleh Amrouni dengan judul Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali. Jakarta: Riora Cipta
Supriadi, Dedi.2009. Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya. Bandung: Pustaka Setia
Zar, Sirajuddin. 2010. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali Pers


[1] Margareth Smith, Al-Ghazali-The Miystic. 2000. Terjemahan oleh Amrouni dengan judul Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali. (Jakarta: Riora Cipta, 2000) h. 259

[2] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2007)  h. 50
[3] Saeful Anwar, loc. cit
[5]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers,2010) h. 155
[6] Margareth Smith, Al-Ghazali-The Miystic, Terjemahan oleh Amrouni dengan judul Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali (Jakarta: Riora Cipta, 2000) h. 2
[7] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka Setia, 2007)  h. 51

[8] Margareth Smith, loc. cit
[10] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers,2010) h. 156
[12] Sirajuddin Zar, op. cit. h.156
[13] Saiful Anwar, op. cit. h. 53
[14] Sirajuddin Zar, op. cit. h. 157
[15] Saiful Anwar, op. cit. h. 59
[16] Ibrahim Makdour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tatbiqub al-Juz al-Sani. Terjemahan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan Judul Aliran dan Teori Filsafat Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) h. 73

[17] Ibid, h. 62
[18] Sirajuddin Zar, op. cit. h. 158
[19] Saiful Anwar, op. cit. h.93
[20] Ibid h. 125
[21] Ibid, h. 199
[22] Ibid, h. 329-336
[23] Ibid, h. 340-362
[24] Ibid, h. 396-398
[25] Ibid, h. 396

PENYIMPANGAN NILAI DAN NORMA SOSIAL DALAM BERBAHASA


A.      Beberapa Definisi
1.      Penyimpangan Nilai dan Norma Sosial
Dalam kehidupan masyarakat, semua tindakan manusia dibatasi oleh norma (aturan) untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan nilai (sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat). Namun demikian di tengah kehidupan masyarakat kadang-kadang masih kita jumpai tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat itu. Tindakan yang demikian itu merupakan penyimpangan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia penyimpangan diartikan sebagai tindakan di luar ukuran (kaidah) yang berlaku.[1]
Dalam Kamus Kriminologi karangan Soerjono Soekanto (1988) disebutkan bahwa penyimpangan sosial adalah sikap tindak yang bertentangan dengan aturan yang berlaku atau harapan masyarakat, yang mengakibatkan terjadinya penolakan terhadap tingkah laku atau dijatuhkannya hukuman.[2]  
Untuk memperjelas pengertian tentang penyimpangan sosial, berikut ini disajikan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli sosiologi:
1)   Menurut James Worker Van der Zaden, penyimpangan sosial adalah perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela
2)   Menurut Robert Muhamad Zaenal Lawang, penyimpangan sosial adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan menimbulkan usaha dari yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang tersebut.
3)        Menurut Paul Band Horton, penyimpangan sosial adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat.
Penyimpangan terhadap nilai-nilai atau norma-norma sosial disebut deviasi (deviation), sedangkan pelaku atau individu yang melakukan penyimpangan disebut devian (deviant). Kebalikan dari perilaku menyimpang adalah perilaku yang tidak menyimpang yang sering disebut dengan konformitas. Konformitas adalah bentuk interaksi sosial yang di dalamnya seseorang berperilaku sesuai dengan harapan kelompok.[3]
Jadi, suatu perilaku dianggap menyimpang apabila  tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat atau segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri terhadap kehendak masyarakat.
Adapun yang dimaksud dengan penyimpangan nilai dan norma sosial dalam berbahasa adalah tindak  tutur yang tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berlaku pada suatu masyarakat.
Secara prinsip setiap kelompok sosial, mulai level yang kecil sampai level dunia, mempunyai kesamaan tentang pentingnya memperhatikan kesantunan dalam berbahasa. Namun bukan berarti kita dapat menyamakan begitu saja ukuran kesantunan tiap-tiap kelompok bangsa itu. Apabila kita memasuki suatu kelompok sosial kita harus mencari tahu hal-hal yang dianggap tidak santun dalam kelompok sosial tersebut. Sebagai contoh ungkapan basa-basi (lip service) merupakan bagian budaya masyarakat Sunda, Jawa dan Indonesia secara umum. Ungkapan ini dapat kita jumpai setiap hari. Misalnya, jika ada seorang teman lewat di depan rumah, kita selalu menawarinya “Nggak singgah dulu?”, ketika teman datang ke rumah kita, kita menawarinya “Mari makan”, padahal sebenarnya tawaran itu tidak serius. Bahkan bila tetangga lewat di depan rumah, kita sering bertanya “Mau pergi ke mana?”, walaupun sebenarnya kita tidak ingin tahu mau pergi ke mana tetangga tersebut. Bagi orang Eropa atau Amerika ungkapan “Mau ke mana?” atau “Where are you going?” dianggap telah mencampuri urusan orang lain. Mungkin dalam hati mereka akan berkata “Saya mau pergi ke mana saja bukan urusanmu” atau “It’s none of your business."
2.      Bahasa
Menurut Shadily (1999) bahasa adalah hasil keterampilan dan ciri khas manusia, yang dapat diucapkan melalui alat-alat pada tubuh manusia. Bahasa dapat menguraikan hampir segala maksud keperluan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa juga merupakan alat sosialisasi, yakni alat perkenalan dengan alam atau lingkungan masyarakatnya.[4]
Harimurti memberikan batasan bahasa sebagai sistem lambang arbitrer yang dipergunakan suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri.[5] Batasan ini merupakan batasan yang lazim diungkapkan, baik oleh para ilmuwan bahasa maupun para ilmuwan lainnya.
Sementara itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa mengandung tiga pengertian, yaitu: 1) sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan oleh alat-alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran; 2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, daerah, negara, dsb); 3) percakapan (perkataan) yang baik, sopan santun, tingkah laku yang baik.[6]
Bloch dan Trager dalam Hidayat (2006) mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem simbol-simbol bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk berkomunikasi.[7]
Senada dengan dua ilmuwan di atas, Joseph Bram mengatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang berstruktur dari simbol-simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain.[8]
Dari definisi-definisi yang telah diungkapkan dapatlah dikemukakan bahwa bahasa adalah sistem simbol yang digunakan untuk momunikasi manusia.
B.     Fungsi Bahasa
Secara umum fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi, bahkan dapat dipandang sebagai fungsi utama dari bahasa.
Kata komunikasi berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Maksudnya ialah sama makna.[9] Jika dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan kata lain, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu.[10]
Fungsi bahasa dirinci oleh Jacobson dalam Hidayat (2006) sebagai berikut:
1)        Emotive Speech, berfungsi psikologis yaitu dalam menyatakan perasaan, sikap, atau emosi
2)        Phatic Speech, berfungsi memelihara hubungan sosial
3)        Cognitive Speech, berfungsi mengungkapkan maksud atau makna sesungguhnya yang sering diberi istilah denotatif atau informatif
4)        Rhetorical Speech, berfungsi mempengaruhi dan mengkondisikan pikiran dan tingkah laku
5)        Metalingual Speech, berfungsi membicarakan bahasa. Ini adalah jenis ujaran yang paling abstrak karena dipakai dalam membicarakan kode komunikasi
6)        Poetic Speech, berfungsi mengungkapkan estetika
Menurut Finocchiario, bahasa berfungsi
1)        Personal, berfungsi menyatakan emosi, kebutuhan, pikiran, hasrat, sikap dan perasaan
2)        Interpersonal, untuk mempererat hubungan sosial seperti ekspresi pujian, simpati, bertanya kesehatan, dan sebagainya
3)        Directive, untuk mengendalikan orang lain dengan saran, nasihat, perhatian, permohonan, persuasi dan sebagainya
4)        Referential, untuk membicarakan objek atau peristiwa dalam lingkungan sekeliling atau di dalam kebudayaan pada umumnya
5)        Metalinguistic, untuk membicarakan bahasa
6)        Imaginative, untuk mengungkapkan nilai-nilai estetika
Sementara iru Titus, Smith dan Nolan dalam Hidayat (2006) membagi fungsi bahasa menjadi empat, yaitu: 1) fungsi kognitif, 2) fungsi emotif, 3) fungsi imperatif, dan 4) fungsi seremonial. Fungsi kognitif berarti bahwa bahasa berfungsi untuk menerangkan suatu kebenaran, seperti bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat. Fungsi emotif mengandung makna bahwa bahasa berfungsi menerangkan aspek emosi atau perasaan terdalam dari manusia. Fungsi imperatif ialah bahwa bahasa berfungsi memerintah atau mengontrol suatu prilaku. Sedangkan fungsi seremonial adalah fungsi bahasa untuk menghormati orang lain, berdoa, dan ritual lainnya.[11]
C.      Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Penyimpangan Nilai dan Norma Sosial
Penyimpangan sosial tentu tidak begitu saja muncul tanpa ada faktor-faktor penyebab dan pemicunya, berikut ini dikemukan faktor-faktor penyimpangan sosial menurut James W. Van Der Zanden[12] :
1.      Longgar tidaknya nilai dan norma
Ukuran perilaku menyimpang bukan pada ukuran baik buruk atau benar salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran longgar tidaknya norma dan nilai sosial suatu masyarakat. Norma dan nilai sosial masyarakat yang satu berbeda dengan norma dan nilai sosial masyarakat yang lain.
  1. Sosialisasi yang tidak sempurna.
Di masyarakat sering terjadi proses sosialisasi yang tidak sempurna sehingga menimbulkan perilaku menyimpang. Contoh: Seorang pemimpin suatu masyarakat  idealnya bertindak sebagai panutan atau pedoman dan menjadi teladan, namun kadang kala terjadi pemimpin justru memberi contoh yang salah. Karena masyarakat mentolerir tindakan tersebut maka terjadilah tindak perilaku menyimpang.
  1. Sosialisasi subkebudayaan yang menyimpang
Perilaku menyimpang terjadi pada masyarakat yang memiliki nilai-nilai subkebudayaan yang menyimpang, yaitu suatu kebudayaan khusus yang normanya bertentangan dengan norma-norma budaya pada umumnya. Contoh: Masyarakat yang tinggal di lingkungan kumuh, masalah etika dan estetika kurang diperhatikan, karena umumnya mereka sibuk dengan usaha memenuhi kebutuhan hidup yang pokok (makan), sering cekcok, mengeluarkan kata-kata kotor, buang sampah sembarangan dan sebagainya. Hal itu oleh masyarakat umum dianggap perilaku menyimpang.
Sedangkan menurut Casare Lombroso[13], terjadinya penyimpangan sosial disebabkan oleh faktor-faktor:
2)   Biologis
Misalnya orang yang lahir sebagai pencopet atau pembangkang. Ia membuat penjelasan mengenai “si penjahat yang sejak lahir”. Berdasarkan ciri-ciri tertentu orang bisa diidentifikasi menjadi penjahat atau tidak. Ciri-ciri fisik tersebut antara lain: bentuk muka, kedua alis yang menyambung menjadi satu dan sebagainya.
3)   Psikologis
Menjelaskan sebab terjadinya penyimpangan ada kaitannya dengan kepribadian retak atau kepribadian yang memiliki kecenderungan untuk melakukan penyimpangan. Dapat juga karena pengalaman traumatis yang dialami seseorang.
4)   Sosiologis
Menjelaskan sebab terjadinya perilaku menyimpang ada kaitannya dengan sosialisasi yang kurang tepat. Individu tidak dapat menyerap norma-norma kultural budayanya.
D.      Nilai dan Norma Sosial dalam Berbahasa
Dengan telah dipahaminya pengertian nilai dan norma sosial dapatlah dianalogikan bahwa nilai dan norma sosial dalam berbahasa adalah sesuatu yang dianggap baik dan benar menurut aturan atau konvensi suatu masyarakat yang digunakan dalam berkomunikasi untuk mengungkapkan suatu maksud.
Dalam makalah ini tidak akan dibahas secara mendetail mengenai nilai dan norma sosial dalam berbahasa yang ada pada suatu kelompok sosial tertentu. Namun akan dibahas hal-hal yang bersifat umum saja.
Tujuan kita berkomunikasi kepada lawan bicara adalah untuk menyampaikan pesan dan menjalin hubungan sosial. Dalam penyampain pesan tersebut biasanya digunakan bahasa verbal atau nonverbal. Sedangkan komunikasi untuk menjalin hubungan sosial dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip kesantunan dengan beberapa strategi seperti menggunakan ungkapan kesantunan, ungkapan implisit, basa-basi dan penghalusan istilah. Strategi tersebut dilakukan dilakukan oleh pembicara dan lawan bicara agar pesan tersampaikan tanpa merusak hubungan sosial di antara keduanya. Namun demikian untuk mencapai dua tujuan komunikasi tersebut  tidaklah mudah. Di satu sisi kita harus mematuhi prinsip komunikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman, di sisi lain kita harus melanggar prinsip-prinsip itu dengan berbasa-basi untuk menjaga hubungan sosial.[14]
Dalam proses komunikasi untuk tujuan pertama yakni menyampaikan pesan, ada beberapa prinsip yang harus dipahami oleh kedua belah pihak, yaitu:
1)   Kuantitas, dalam ukuran kuantitas ini terkandung dua prinsip yaitu:
a)        kedua belah pihak harus memberikan kontribusi pembicaraan yang memadai sehingga tidak ada salah satu pihak yang mendominasi
b)        kedua belah pihak tidak boleh berbicara melebihi yang diperlukan, sehingga tidak ada salah satu pihak yang dianggap membual.
2)   Kualitas, dalam ukuran kualitas ini terkandung prinsip:
a)        kedua belah pihak tidak berbohong
b)        tidak berbicara jika tidak punya bukti yang cukup
3) Hubungan, mengandung pengertian apa yang dikemukakan harus benar
4) Cara, artinya apa yang dikatakan harus jelas yang mengandung prinsip:
a) hindari ketidakjelasan
b)         hindari ambiguitas
c) singkat
d)         runtut
Dalam komunikasi untuk tujuan kedua yakni menjalin hubungan sosial tidak hanya faktor-faktor linguistik yang dipertimbangkan,  namun faktor-faktor nonlinguistik juga memegang peranan penting, seperti faktor peran dan hubungan, usia, dan stratifikasi sosial.
Faktor peran dan hubungan misalnya komunikasi antara seorang atasan dan bawahan, seorang anak pada ayah, sesama teman akrab, masing-masing menuntut strategi komunikasi yang berbeda. Pertimbangan itu antara lain pemilihan kata yang tepat, bahasa tubuh, ekspresi, dan intonasi.
Di samping prinsip-prinsip nonlinguistik di atas ada faktor lain yang juga penting dalam berkomunikasi yaitu kesantunan. Sedikitnya terdapat tiga skala pengukur peringkat kesantunan. Ketiga macam skala itu adalah (1) skala kesantunan menurut Leech, (2) skala kesantunan menurut Brown and Levinson, dan (3) skala kesantunan menurut Robin Lakoff.[15]
Skala kesantunan Leech adalah sebagai berikut :
(1)  skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian juga sebaliknya.
(2)      skala pilihan, menunjuk kepada sedikit atau banyaknya pilihan yang disampaikan si penutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Demikian juga sebaliknya.
(3)      skala ketidaklangsungan, menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung, akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu.
(4)      skala keotoritasan, menunjuk kepada hubungan status sosial  antara penutur dan mitra tutur. Semakin jauh jarak preringkat sosial antara penutur dan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun. Demikian juga sebaliknya.
(5)      skala jarak sosial, menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur. Semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya akan semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian juga sebaliknya.
Skala kesantunan Brown and Levinson adalah sebagai berikut :
(1)      skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosio kultural.
(2)      skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur atau sering kali disebut dengan peringkat kekuasaan didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur.
(3)      skala peringkat tindak tutur didasarkan atas kedudukan relatif antara tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya.
Skala kesantunan Robin Lakoff adalah sebagai berikut :
(1)      skala formalitas, dinyatakan bahwa agar peserta tutur dapat merasa nyaman, tuturan tidak boleh memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh.
(2)      skala ketidaktegasan atau disebut juga skala pilihan. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dan kaku karena dianggap tidak santun.
(3)      skala kesekawanan atau kesamaan menunjukan bahwa agar dapat bersifat santun haruslah bersikap ramah dan selalu menganggap mitra tutur sebagai sahabat. [16]
Dalam masyarakat  yang  beragama Islam ada beberapa nilai dan norma berbahasa yang dapat dijadikan pedoman dalam berkomunikasi dengan orang lain, yaitu:
1)   Berbicara dengan lemah lembut, seperti diungkapkan dalam Quran Surat Thaha: 44, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
2)   Berbicara dengan santun, seperti terungkap dalam hadits riwayat Bukhari, “Setiap orang itu mempunyai kewajiban bersedekah setiap hari. Di antaranya memberikan boncengan kepada orang lain di atas kendaraannya, membantu mengangkatkan barang orang lain ke atas tunggangannya, atau sepotong kalimat yang diucapkan dengan baik dan santun.”
3)   Tidak terlalu banyak berceloteh, seperti dalam hadits riwayat Tirmidzi, “Sesungguhnya orang yang paling kubenci dan paling jauh jaraknya dariku ialah penceloteh lagi banyak bicara.”
4)   Tidak ghibah/menggunjing, seperti tertuang dalam Quran Surat Alhujurat ayat 12, “... Dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain....”
5)   Tidak mengadu domba, seperti terdapat pada hadits riwayat Bukhari dan Muslim, “Tak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba.”
6)   Tidak berbohong, “Sesungguhnya kejujuran itu mendatangkan kebaikan, dan kebaikan itu berujung kepada surga. Orang yang senantiasa berbuat jujur, niscaya tercatat sebagi orang jujur. Dan sesungguhnya kebohongan itu membawa kejelekan, dan kejelekan itu hanya berujung kepada neraka. Dan orang yang suka berbohong niscaya tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR Abu Daud)
7)   Menghindari perdebatan yang berlebihan, “Aku menjamin sebuah istana di halaman surga bagi mereka yang  meninggalkan perdebatan meskipun ia berhak untuk itu.” (HR Abu Daud)
8)   Tidak mencaci maki, “Apabila ada yng mencaci maki kamu tentang apa yang dia ketahui pada dirimu, janganlah kamu mencaci maki dia tentang apa yang kamu ketahui pada dirinya karena pahalanya untuk kamu dan kecelakaan untuk dia.”
9)   Tidak berbisik-bisik di depan orang lain, “Apabila berkumpul tiga orang, janganlah yang dua orang berbisi-bisik (bicara rahasia) dan meninggalkan orang yang ketiga.” (HR Bukhari)
10)    Tidak memotong pembicaraan, “Suatu hari seorang Arab Badui datang menemui Rasulullah SAW, ia langsung memotong pembicaraan beliau dan bertanya tentang hari kiamat. Namun Rasulullah tetap melanjutkan hingga selesai pembicaraannya. Setelah itu baru beliau mencari si penanya tadi.” (HR Bukhari)
11)    Tidak mengolok-olok, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka lebih baik dari pada yng mengolok-olok ...”
12)    Tidak memanggil dengan gelar yang buruk, “... Dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk ...”
13)    Menjaga rahasia, “Tiadalah seorang muslim menutupi rahasia saudaranya di dunia kecuali Allah menutupi pula rahasianya pada hari kiamat. (HR Muslim)[17]


[1] Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,,2008) h. 1309
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku_menyimpangl
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku_menyimpang
[4] Hassan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia (Jakarta, Rineka Cipta,1999) h. 65
[5] Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta ,Gramedia Pustaka Utama,1982) h. 17
[6] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka, 1988) h. 66-67
[7] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda, (Bandung Remaja Rosdakarya, 2006) h. 22
[8] Hidayat, op. cit.
[9] Ibid, h 26
[10] Onong Uchyana Effendy, Komunikasi, Teori dan Praktek, Remaja Rosdakarya, cet. Ke-13: Bandung, 2000, h 9
[11] Asep Ahmad Hidayat, op. cit. h. 28
[12]http://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku_menyimpang
[13]http://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku_menyimpang
[14] http://www.unej.ac.id/fakultas/sastra/sastra_en/jurnal/vol-02/syamsul.pdf
[15] Kunjana Rahardi, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia (Jakarta, Erlangga, 2010) h. 66
[16] Kunjana Rahardi, Pragmatik : Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia (Jakarta ,Erlangga, 2010) h. 66-70
[17] http:/ berbicaralah-yang-baik-atau-diam-adab.html