Selasa, 01 Maret 2011

SEJARAH PERADABAN DINASTI FATHIMIYAH


I.    Kelahiran Dinasti Fathimiyah
1.   Gerakan Syi’ah Isma’iliyah
Kelahiran dinasti ini dimulai dengan adanya gerakan dari cabang kaum Syi’ah Imamiyah - yaitu Syi’ah Isma’iliyah - yang bereaksi terhadap khalifah-khalifah Abbasiyah yang mengadakan penyelidikan kepada kaum Syi’ah Isma’iliyah. Penyelidikan itu mengharuskan golongan yang setia kepada Isma’il bin Ja’far harus meninggalkan kota kecil di wilayah Hamah daerah Syria menuju Afrika Utara.
Kaum Syi’ah Isma’iliyah itu sendiri muncul karena berselisih paham dengan Syi’ah Imamiyah tentang imam yang ketujuh. Menurut kaum Imamiyah, imam yang ketujuh adalah Putra Ja’far yang bernama Musa al-Kazhim, sedangkan menurut Isma’iliyah imam yang ketujuh adalah Putra Ja’far yang bernama Isma’il. Sehingga meskipun Isma’il sudah meninggal, kaum Isma’iliyah tidak mau mengakui penobatan Musa al-Kazhim sebagai imam. Menurut mereka hak atas Isma’il sebagai imam tidak dapat dipindahkan kepada yang lain walaupun sudah meninggal.[1]
Pemimpin gerakan Syi’ah Isma’iliyah adalah Abu Abdullah al-Husain. Berkat propagandanya yang penuh semangat, Abu Abdullah al-Husain berhasil menarik suku Barbar yang terkenal keras, khususnya dari kalangan suku Khithamah, menjadi pengikut setia gerakan ini.
2.   Penobatan Ubaidillah al-Mahdi
Setelah memperoleh banyak dukungan dan berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah al-Husain menobatkan Sa’id ibn Husain al-Salamiyah sebagai penggantinya. Selanjutnya Sa’id berhasil merebut kekuatan dan berhasil mengusir penguasa dinasti Aghlabiyah yang terakhir yaitu Ziyadatullah III dari Tunisia disusul dengan pendudukannya pada tahun 909 M. Inilah awal berdirinya Dinasti Fatimiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Sa’id Husain al-Salamiyah yang bergelar “Ubaidillah al-Mahdi”.[2]
3.   Ideologi Dinasti Fathimiyah
Nama Fathimiyah dinisbatkan kepada Fatimah al-Zahra yaitu putri Nabi Muhammad Saw yang juga merupakan istri Ali Ibn Abi Thalib ra. Ubaidaillah al-Mahdi mengaku sebagai keturunan Ali ra dan Fatimah RA melalui garis Isma’il, putra Ja’far al-Shadiq.[3] Penisbatan ini memperkuat klaim dan legitimasi dinasti ini yang menganggap bahwa merekalah yang sebenarnya paling berhak mengambil kendali dan memerintah seluruh kerajaan Islam. Di samping itu berdirinya Dinasti Fathimiyah jelas-jelas merupakan tandingan bagi Dinasti Abbasiyah yang sedang berkuasa.
Setelah resmi mengukuhkan diri sebagai dinasti baru, Fathimiyah memulai pekerjaannya dengan mengambil kepercayaan umat Islam bahwa mereka adalah benar-benar keturunan Fathimah putri Rasul dan istri Ali bin Abi Thalib. Mereka mengklaim bahwa mereka memiliki hak dari Tuhan untuk berkuasa.
Dinasti Fathimiyah mengklaim sebagai pemimpin Islam yang sebenarnya. Fathimiyah mewakili simbolisme otoritas politik Abbasiyah, Bizantium, filsafat, dan Isma’iliyah. Mereka menegaskan bahwa mereka adalah imam-imam yang sebenarnya; dengan demikian mereka memutuskan hubungan dengan tradisi Syi’ah yang tengah berkembang sebelumnya bahwa Imam Syi’ah adalah tersembunyi.[4]
Pencitraan diri sebagai kekhalifahan dan institusi imamah yang sah merupakan tanda untuk menegaskan keberlanjutan otoritas politik dan spiritual yang dimiliki nabi karena Syi’ah Isma’iliyah sebagai pendiri Dinasti Fathimiyah menunjukkan  keyakinan bahwa kepala negara yang sah adalah wakil Tuhan di muka bumi.
4.   Perluasan Wilayah Kekuasaan
Ubaidillah menegakkan pemerintahannya di istana Aghlabiyah, yaitu di Raqqadah yang terletak di pinggiran kota Kairawan. Ia membuktikan dirinya sebagai penguasa yang paling mampu dan berbakat. Ia memperluas kekuasaannya sampai hampir meliputi wilayah Afrika, dari Maroko sampai perbatasan-perbatasan Mesir.[5]
Setelah wafat tahun 934 M, Ubaidillah al-Mahdi digantikan oleh putranya Abu al-Qasim dengan gelar al-Qa’im selama 15 tahun. Pada tahun 934 atau 935 Al-Qa’im mengirim armadanya untuk menyerbu Pantai Utara Prancis, dan berhasil menguasai Genoa dan sepanjang pesisir Calabria.
Al-Qa’im meninggal pada tahun 949 M ketika berusaha menaklukkan Mesir. Pengganti beliau adalah putranya bernama al-Mansyur. Al-Manshur berhasil mengalahkan pasukan Abu Yazid Makad di Mesir.[6] Setelah meninggal beliau digantikan oleh Abu Tamim Ma’ad yang bergelar al-Mu’iz.
5.   Qahirah Menjadi Ibu Kota
            Pada masa pemerintahan al-Mu’iz, Dinasti Fathimiyah berhasil menaklukkan Maroko, Sisilia, Mesir, Palestina, Suriah, dan Hijaz.
Periode Dinasti Fathimiyah di Mesir dimulai ketika Jauhar, komandan pasukan al-Mu’iz (Imam Syi’ah Dinasti Fathimiyah untuk periode 953-975), kepala perang yang gagah berani asal Sicilia, menaklukkan negeri itu dan memasuki ibu kotanya Fusthat pada tahun 969. Ia berhasil merampasnya dari keturunan Ikhsyid. Keturunan Ikhsyid tidak dapat mempertahankan kekuatannya, sehingga terpaksa melarikan diri.[7] Setelah menduduki kota Fusthat, dia membangun kota baru dengan nama ‘al-qahirah’ yang berarti ‘gagah perkasa’ sebagai lambang kemenangannya.[8]
            Di Mesir, yang telah direbutnya dalam waktu singkat, Jauhar memiliki tugas utama, yaitu:
1.   Mendirikan ibu kota baru yaitu Kairo
2.   Membina suatu universitas Islam yaitu Al-Azhar
3.   Menyebarluaskan ideologi Fathimiyah yaitu Syi’ah ke Palestina, Syria, dan Hijaz.[9]  
            Setelah empat tahun dikuasai, barulah al-Mu’iz datang ke Mesir, tepatnya tahun 973 M dengan terlebih dahulu memasuki kota Iskandariyah. Di Iskandariyah beliau disambut dengan upacara besar oleh penduduk, selanjutnya beliau memasuki Qahirah. Tiga tahun kemudian al-Mu’iz meninggal dan digantikan oleh putranya al-Aziz.

II.      Masa Kejayaan Dinasti Fathimiyah

1.   Keadaan Politik
Pada masa Dinasti Fathimiyah, terutama pada waktu kekuasaan Abu Manshur Nizar al-Aziz, kehidupan masyarakat selalu diliputi oleh kedamaian. Hal ini merupakan imbas dari keadaan pemerintahan yang damai. Al-Aziz adalah khalifah Fathimiyah  yang kelima sejak berdirinya dinasti ini di Tunisia, dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir.
Simbolisme istana yang penting diekspresikan dalam upacara, kesenian arsitektur, dan agama Islam. Di dalam istana terdapat sebuah ruangan besar untuk mengajarkan keyakinan Isma’iliyah. Para hakim, misionari, qari al-Quran, dan imam shalat secara reguler hadir dalam berbagai upacara di dalam istana.[10]
Periode ini menandai munculnya era baru dalam sejarah bangsa Mesir, yang untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, menjadi penguasa absolut dengan kekuatan besar dan penuh yang didasarkan atas prinsip keagamaan. Usaha untuk menegakkan penyatuan kepemimpinan agama dan politik jelas terlihat. Prinsip kepemimpinan yang mengharuskan seorang imam harus menjadi sosok yang adil, yang bisa menjauhkan umat dari siksaan, suara kebenaran, yang bersinar seperti matahari dan bercahaya seperti bintang, dan menjadi pilar agama, rizki, dan kehidupan manusia, telah berhasil menjulangkan popularitas sang khalifah. Nama sang khalifah senantiasa disebut-sebut dalam khutbah-khutbah Jumat di sepanjang wilayah kekuasaannya yang membentang dari Atlantik hingga Laut Merah, di Yaman, Mekah, Damaskus, dan bahkan di Mosul.[11]
Di bawah kekuasaan al-Aziz, Fathimiyah berhasil mendapatkan tempat tertinggi sebagai negara Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur. Ia telah berhasil menjadikan negaranya sebagai lawan tangguh bagi kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad.
Stategi promosi Fathimiyah yang gencar dilakukan untuk mengagungkan agama diwujudkan dengan memasyarakatkan pemuliaan terhadap keluarga Ali. Pemuliaan terhadap imam yang masih hidup disejajarkan dengan pemuliaan terhadap kalangan syuhada dari keluarga nabi. Pemerintah membangun sejumlah bangunan makam keluarga Ali untuk meningkatkan kegiatan perziarahan.
Selain berhasil mewujudkan kemakmuran, strategi lain yang dijalankannya adalah memberikan toleransi yang tak terbatas kepada umat Kristen. Keadaan ini sama sekali tidak pernah dirasakan oleh masyarakat pada periode-periode sebelumnya. 
2.   Sistem Administrasi Pemerintahan
Sistem administrasi pemerintahan Dinasti Fathimiyah tidak begitu berbeda dengan sistem administrasi Abbasiyah, atau lebih cenderung pada sistem administrasi Persia kuno.
Administrasi internal kerajaan dibentuk oleh Ya’kub ibn Killis yang wafat tahun 991 M, seorang wazir atau menteri pada kekhalifahan al-Mu’iz dan al-Aziz. Ya’kub adalah seorang Yahudi yang masuk Islam. Berkat kecakapannya dalam bidang administrasi, ia berhasil meletakkan dasar-dasar ekonomi sehingga Dinasti Fathimiyah mencapai kemakmuran pada awal pemerintahannya.
 Pengelolaan negara dilakukan dengan mengangkat para menteri. Fathimiyah membagi kementrian menjadi dua kelompok yaitu: pertama, kelompok militer yang terdiri atas tiga jabatan pokok: (1) Para amir, yang terdiri atas para perwira tertinggi dan para pengawal khalifah; (2) Para perwira istana yang terdiri atas para ahli (ustadz) dan para kasim; (3) Komando-komando resimen yang masing-masing menyandang nama berbeda seperti Hafizhiyah, Jususyiyah, Sudaniyah, atau yang disebut dengan nama  khalifah, wazir, atau suku. Para wazir atau menteri juga terdiri atas beberapa kelas, yang tertinggi adalah menteri keamanan yang mengatur tentara dan urusan perang, kemudian menteri dalam negeri, menteri urusan rumah tangga yang menyambut tamu-tamu kehormatan utusan luar negeri, dan yang terakhir adalh menteri sekertaris negara yang terdiri atas para qadhi yang juga menjadi kepala percetakan uang; menteri pengawas pasar yang mengawasi ukuran  dan timbangan dalam Tingkatan pegawai yang paling rendah adalah para pegawai di departemen sekretariat negara yang terdiri atas para pegawai sipil, termasuk para pedagang dan sekretaris dari berbagai departemen.[12] Selain pejabat pusat, di setiap daerah terdapat pejabat setingkat gubernur yang diangkat oleh khalifah untuk mengelola daerahnya masing-masing. Administrasi pemerintahan dikelola oleh pejabat setempat.[13]  
3.   Perkembangan Ekonomi
Dalam membahas masalah perkembangan ekonomi akan dibicarakan mengenai kehidupan masyarakat dan keadaan negara dilihat dari kemajuan ekonomi dan kemakmurannya.
Seperti yang telah disinggung di awal, masyarakat pada masa pemerintahan Dinasti Fathimiyah hidup dengan damai. Kekuasaan rezim Syi’ah tetap memberi toleransi kepada masyarakat, baik kepada golongan Koptik maupun kepada masyarakat umum yang bermazhhab Sunni.
Sebenarnya masa keemasan dalam sejarah dinasti ini di Mesir dimulai pada periode al-Mu’iz dan mencapai puncaknya pada periode al-Aziz, tetapi pada periode sesudahnya yaitu masa al-Munthashir masih menunjukkan bahwa Mesir merupakan negara Islam paling maju.
Khalifah al-Aziz hidup di kota Kairo yang mewah dan gemerlap, dikelililngi beberapa masjid, istana, jembatan, dan kanal-kanal yang baru dibangun. Pada prosesi ibadah, misalnya idul fitri, dia biasa berkeliling dengan pasukannya dengan memakai pakaian berornamen brokat dan dilengkapi dengan pedang dan sabuk emas. Tenda yang dipakai oleh khalifah dihiasi mutiara.
Kegemilangan Mesir pada masa al-Muntashir ini dapat tergambar sebagaimana dideskripsikan oleh seorang Persia yang mengunjungi negara ini tahun 1046-1049, beberapa saat sebelum terjadi kehancuran ekonomi dan politik. Ia mengemukakan bahwa istana khalifah mempekerjakan 30.000 orang, 12.000 orang di antaranya adalah pelayan dan 1.000 orang pengurus kuda. Khalifah muda yang dilihatnya pada sebuah perayaan menunggangi kuda, dinaungi oleh pelayan dengan payung yang dihiasi batu-batu mulia. Di tepi Sungai Nil terdapat tujuh buah perahu berukuran 150 kubik dengan 60 tiang pancang sedang berlabuh. Khalifah memiliki 20.000 rumah di ibu kota, hampir semuanya dibangun dengan batu bata, dengan ketinggian hingga lima atau enam lantai. Ia juga memiliki ribuan toko yang masing-masing bisa menghasilkan dua hingga sepuluh dinar perbulan. Jalan-jalan utama diberi atap dan diterangi lampu. Para penjual toko menjual dengan harga yang telah ditetapkan. Jika ada seorang pedagang yang curang, ia akan dipertontonkan di sepanjang jalan kota sambil membunyikan lonceng dan mengakui kesalahannya. Bahkan begitu amannya kota, toko perhiasan atau tempat penukaran uang tidak pernah dikunci saat ditinggal oleh pemiliknya. Kota Fusthat memiliki tujuh masjid besar; Kairo memiliki delapan buah.[14] Seluruh kota merasakan ketenangan dan kemakmuran dengan ungkapannya yang antusias, “Bahkan aku tidak bisa memperkirakan kekayaan kota ini, dan tidak pernah sekali pun aku melihat satu tempat yang lebih makmur dari kota ini.”[15]
Khalifah al-Muntashir hidup dalam kemewahan dan kesenangan.  Dia mewarisi harta yang berlimpah dari para pendahulunya. Kekayaan khalifah terbukti dengan ditemukannya warisan harta sangat berharga yang tersebar di antara tentara-tentara Turki berupa vas-vas kristal, piring-piring berlapis emas, tempat tinta yang terbuat dari gading dan kayu eboni, gelas-gelas berbahan gading, cermin-cermin dari baja, payung dengan gagang terbuat dari emas dan perak, papan catur dengan bidak terbuat dari emas dan perak, belati berhiaskan mutiara, dan pedang-pedang berukir indah.[16]
4.   Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Dinasti Fathimiyah memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Khalifah al-Aziz sendiri adalah seorang penyair dan sangat menyenangi pendidikan. Pada masanya dikembangkanlah Masjid Agung al-Azhar menjadi universitas sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua.  
Khalifah al-Hakim melakukan pembangunan pusat pembelajaran Dār al-Hikmah (rumah kebijaksanaan) dan Dār al-‘Ilm (rumah ilmu) pada tahun 1005 yang melakukan pengkajian ilmu-ilmu keislaman, astronomi, dan kedokteran. Dia menyediakan dana yang besar untuk mengembangkan institusi ini, di antaranya digunakan untuk menyalin berbagai naskah, memperbaiki buku, dan pemeliharaan umum lainnya. Bangunan tersebut ditempatkan berdekatan dengan istana kerajaan. Di dalam bangunan itu terdapat sebuah perpustakaan dan ruang-ruang pertemuan.
Al-Hakim juga membangun sebuah observatorium karena ketertarikannya pada perhitungan-perhitungan astrologi. Alat untuk mengukur tanda-tanda zodiak yang terbuat dari tembaga didirikan oleh al-Hakim di atas dua menara.
Beberapa tokoh ilmuwan yang terkenal pada masa ini  di antaranya ‘Ali ibn Yunus. Dia adalah seorang astronom paling hebat yang menciptakan tabel astronomi. Juga ada Abu ‘Ali al-Hasan ibn al-Haitsam (bahasa Latin, Alhazen) yang merupakan peletak dasar ilmu fisika dan optik. Ia menulis tidak kurang dari seratus karya yang meliputi bidang matematika, astronomi, filsafat, dan kedokteran. Karya terbesarnya adalah Kitāb al-Manāzhir mengenai ilmu optik. Kitab ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu optik dan menjadi rujukan utama hampir semua penulis tentang optik pada Abad Pertengahan. Tokoh lainnya adalah ‘Ammar ibn ‘Ali al-Maushili yang menghasilkan karya al-Muntakhab fi ‘Ilaj al-‘Ain (Karya Pilihan tentang Penyembuhan Mata) dan Ibn ‘Isa yang menghasilkan karya Tadzkirah.[17] Dalam karya ‘Ammar ini dijelaskan dasar-dasar operasi katarak yang merupakan penemuannya yang berharga dalam bidang kesehatan.
Dalam perkembangan berikutnya, pada masa al-Muntashir, terjadilah kemunduran dalam bidang ilmu pengetahuan dengan banyaknya buku-buku yang hilang dari perpustakaan kerajaan yang telah didirikan sejak masa al-‘Aziz yang ketika itu memiliki kurang lebih 200.000 buku dan 2.400 Alquran.[18] Berkurangnya koleksi perpustakaan ini sebagai akibat peristiwa perebutan rampasan perang pada tahun 1068. Naskah-naskah berharga itu digunakan sebagai bahan bakar untuk membakar rumah-rumah dan kantor-kantor orang Turki.
5.   Perkembangan Seni dan Arsitektur
Seni dan arsitektur pada masa Fathimiyah menghasilkan karya yang bernilai sangat tinggi berupa berbagai kerajinan, baik di bidang tekstil, keramik, benda seni dari kayu, benda logam, dan batu kristal. Pada produk tekstil kita bisa menemukan motif-motif hewan dengan pose konvensional. Beberapa contohnya ditemukan di Barat yang dibawa ke sana pada masa Perang Salib.
Seni keramik masa ini mengikuti pola-pola Iran. Beberapa contoh produk keramiknya merupakan bukti kemunculan pertama keramik ala Cina di wilayah Arab Timur. Produk keramik yang dibuat oleh orang-orang Mesir sangat bagus dan menakjubkan.
Benda seni dari kayu adalah berupa papan-papan kayu berukir yang digambari lukisan beberapa makhluk hidup seperti rusa yang diserang oleh monster, kelinci yang diterkam oleh elang, dan beberapa pasang burung yang saling berhadapan.
Seperti juga pada produk kayu, koleksi perunggu memperlihatkan hal yang sama. Kebanyakan produknya berupa cermin atau pedupaan. Koleksi perunggu yang paling terkenal adalah patung griffin dengan tinggi 40 inci, yang sekarang berada di Pisa.
Benda kristal dinasti Fathimiyah menurut pakar sejarah seni di situs simerg.org merupakan salah satu mahakarya peradaban Islam paling indah. Ornamen yang ditampakkan pada batu kristal tersebut menunjukkan karya seni dengan citarasa yang tinggi. Salah satu ciri khasnya adalah bentuk-bentuk batu kristal yang umumnya mengambil model ikan sebagai simbol kehidupan. Banyak juga yang berisi tulisan dari Imam-imam Syi’ah Isma’iliyah. Salah satu peninggalan yang terkenal terdapat di Basilica Venesa yang berisi tulisan al-Aziz yang hidup sekitar tahun 975-996 Masehi. Batu kristal lainnya berisi tulisan Imam al-Hakim yang berada di Chatedral of Fermo, Italia.[19]
Berbagai benda kuno berupa keramik dan kristal peninggalan Dinasti Fathimiyah pada tahun 2004 ditemukan di dalam kapal karam berusia 1000 tahun di Pantai Utara Cirebon. Sekitar 271.381 benda kuno yang menghebohkan publik Indonesia tersebut dilelang oleh Kementrian Kelautan RI pada 5 Mei 2010 yang kemungkinan nilai jualnya mencapai 750 milyar sampai trilyunan rupiah.
 Seni arsitektur publik Fathimiyah merupakan bentuk pengembangan dari aspek-aspek seremonial istana kerajaan. Ibu kota Fathimiyah, al-Qahirah atau Cairo yang dibangun pada tahun 969, merupakan sebuah kota kerajaan yang dirancang sebagai wujud bagi kebesaran kerajaan[20]. Masjid Agung al-Azhar dan al-Hakim dibangun dengan sejumlah menara dan kubah yang melambangkan sifat ketinggian para imam dan mengingatkan pada Kota Suci Makkah dan Madinah. Bagian tengah al-Azhar dibangun dengan batu bata yang memiliki sudut mihrab. Masjid al-Hakim memiliki kopula dari tembok yang menyokong sebuah tambur besar berbentuk segi delapan di atas ruangan shalati. Di Masjid al-Aqmar ditemukan ciri khas arsitektur Islam yaitu ceruk stalaktit. Tiang masjid ini menampilkan disain kaligrafi bergaya Kufi yang kubus dan tegas. Ciri khas lain yang  menjadi tradisi pada masa ini adalah bangunan makam para pendiri masjid yang dihubungkan dengan masjid. Selain bentuk bangunan, kemegahan gedung-gedung periode Fathimiyah dilengkapi juga dengan pintu-pintu gerbang berukuran sangat besar yang dibangun oleh arsitek-arsitek dengan rancangan ala Bizantium.
III.    Kemunduran Dinasti Fathimiyah

1.   Awal Kemunduran
Kemunduran yang dialami Dinasti Fathimiyah sudah mulai ada pada masa Abu ‘Ali Manshur al-Hakim. Al-Hakim adalah pengganti al-Aziz, ia baru berusia 11 tahun ketika naik tahta. Karena masih terlalu muda ketika diangkat menjadi khalifah, kekuasaan sesungguhnya berada di tangan para wazir. Para wazir ini akhirnya sering mendapat julukan kebangsawanan “al-malik”.
Masa pemerintahannya, ditandai dengan sifat aneh berupa tindakan-tindakan kejam yang menakutkan. Ia membunuh beberapa orang wazir, dan menetapkan aturan-aturan ketat kepada kalangan nonmuslim. Ia membuat kebijakan menghancurkan beberapa gereja dan Kuburan Suci umat Kristen, yang kelak akhirnya menjadi salah satu peristiwa yang melatarbelakangi pecahnya Perang Salib. Ia juga secara umum menyatakan dirinya sebagai penjelmaan dari Tuhan, sebuah klaim yang menimbulkan polemik yang dahsyat di kalangan ummat Islam. Inilah akhirnya menjadi akar melemahnya dukungan politik terhadap kepemimpinan al-Hakim, sehingga pada tahun 1094 terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh panglima militer, al-Afzal Sahinsyah.
Pengganti al-Hakim adalah anaknya, al-Zhahir (1021-1035), yang ketika naik tahta berusia enam belas tahun. Ia mendapatkan izin dari Konstantin VIII agar namanya disebut-sebut di masjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar. Ia juga mendapat izin untuk memperbaiki masjid di Konstantinopel sebagai balasan terhadap restu al-Zhahir untuk membangun kembali gereja yang di dalamnya terdapat Kuburan Suci.


2.   Terjadinya Pemberontakan  
     Pengganti al-Zhahir adalah anaknya, Ma’ad al-Muntashir (1035-1094). Seperti al-Hakim, al-Muntashir naik tahta saat berusia sebelas tahun. Pada masa awal kekuasaannya, ibunya, seorang budak dari Sudan, menikmati kekuasaan anaknya dengan leluasa. Sejak saat itu, kekuasaan Fathimiyah mulai menyusut sedikit demi sedikit. Penyebabnya karena sering terjadinya pemberontakan seperti di Palestina dan Suku Arab di dataran tinggi Mesir yang akhirnya mampu menduduki Tripoli dan Tunisia. Pada tahun 1071, sebagian besar wilayah Sisilia dikuasai oleh bangsa Normandia yang daerah kekuasaannya terus meluas hingga ke pedalaman Afrika. Hanya kawasan Semenanjung Arab yang masih tetap mengakui kekuasaan Fathimiyah. Sejalan dengan itu, provinsi-provinsi Dinasti Fathimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan dan berkeinginan untuk memerdekakan diri atau kembali kepada Dinasti Abbasiyah. Selain itu kericuhan dan pertikaian terjadi di antara orang-orang Turki, suku Berber dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara dapat dikatakan lumpuh. Perekonomian negara juga tidak berdaya sebagai akibat kelaparan selama tujuh tahun.
3.   Persaingan Antarwazir
Setelah al-Muntashir meninggal pada tahun 1094, kekuasaan diteruskan oleh anaknya yaitu al-Malik al-Afdhal. Pada masa ini muncul perseteruan terus-menerus di antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Al-Afdhal lalu menempatkan anaknya yang paling muda sebagai khalifah dengan julukan al-Musta’li.    
Sementara itu terjadi kekacauan sekitar permasalahan suksesi di masa pemerintahan khalifah al-Musta’ali. Nizar, putera Musta’ali yang tertua dihukum penjara hingga meninggal, namun pengikut Nizar mengakui bahwa Nizar masih hidup. Ini menimbulkan kekacauan dan melahirkan dua kubu yang saling bersaing, yaitu kubu Must’aliyah dan kubu Nizariyah.
     Putra al-Musta’ali bernama al-Amir yang masih berusia lima tahun, menggantikan ayahnya sebagai penguasa di Mesir. Al-Amir akhirnya menjadi korban pembunuhan pada tahun 1130.
Penerus al-Amir adalah al-Hafizh. Sepeninggal al-Amir, Dinasti Fathimiyah semakin mengalami kemunduran. Pada saat itu, timbul pertentangan paham keagamaan antara kalangan penguasa dengan mayoritas masyarakat yang menganut Sunni. Sejumlah kelompok kecil mengikuti imam mereka masing-masing dan mengabaikan klaim penguasa Fathimiyah.
Ketika al-Hafizh (1130-1149) meninggal, kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan. Penggantinya yaitu anaknya yang bernama al-Zhafir (1149-1154) masih berusia sangat muda hingga kemudian kekuasaannya direbut oleh seorang wazir dari Kurdistan ibn al-Sallar yang menyebut dirinya sebagai al-Malik al-‘Adil.
4.   Al-‘Adid sebagai Khalifah Terakhir
Hari kedua setelah meninggalnya khalifah, dinobatkanlah anak al-Zhafir yang baru berusia empat tahun yakni al-Faiz sebagai khalifah (1154-1160). Khalifah kecil ini meninggal pada usia sebelas tahun, dan digantikan oleh sepupunya al-‘Adid yang baru berusia sembilan tahun[21]. Dialah khalifah yang keempat belas yakni khalifah yang terakhir pada Dinasti Fathimiyah yang berkuasa selama lebih dari dua setengah abad.
Pada masa pemerintahan al-Adid, kehidupan masyarakat sangat sulit dengan adanya bencana kelaparan dan wabah penyakit yang sering terjadi. Akibatnya adalah pajak yang tinggi untuk memuaskan kebutuhan khalifah dan angkatan bersenjata. Keadaan semakin sulit dengan datangnya pasukan Perang Salib ke Mesir. Maka khalifah al-Adid meminta bantuan kepada Nuruddin Zanki, gubernur Suriyah di bawah kekuasaan Abbasiyah Baghdad[22]. Nuruddin akhirnya mengutus Shalahuddin al-Ayubi yang membawa tentara ke Mesir untuk menghalau tentara Salib. Karena keberhasilannya, dia diangkat menjadi menteri di Mesir, di bawah Fathimiyah tentunya. Namun khalifah al-Adid amat tua untuk memimpin dan tekanan politik makin tinggi, sementara keberhasilan Shalahuddin al-Ayubi membuat dukungan atasnya menjadi khalifah sangat kuat. Pada akhirnya, Shalahuddin al-Ayubi bisa menjadi khalifah dan mengakhiri Dinasti Fathimiyah pada tahun 1171. Kepemimpin Shalahuddin al-Ayubi mengubah corak kekuasaan yang sebelumnya Syi’ah beralih ke Sunni, sehingga disebut Dinasti Sunni al-Ayyubiyah.
Dinasti Ismailiyah yang didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi ini hanya mampu bertahan selama lebih kurang dua setengah abad (909-1171 M).Tiga orang khalifah Dinasti Fatimiyah lainnya yang pernah memerintah di Maroko adalah al-Qaim (322-323 H/934-946 M), al-Manshur (323-341 H/946-952 M), dan al-Muizz (341-362 H/952-975 M). Dinasti ini dapat maju antara lain karena didukung oleh militer yang kuat, administrasi pemerintahan yang baik, ilmu pengetahuan berkembang, dan ekonominya stabil. Krisis kepemimpinan Khalifah berikutnya setelah al-Aziz, yakni al-Hakim (386-411 H/996-1021 M), al-Zahir (411-427 H/1021-1036 M), Al-Mustansir (428-487 H/1036-1094 M), hingga al-Musta’li (487-495 H/1094-1101 M), tak mampu mengendalikan pemerintahan seperti yang dilakukan oleh al-Aziz. Bahkan, krisis di antara kekuatan dalam pemerintahan Daulah Fatimiyah itu terus berlangsung paada masa al-Hafiz (525-544 H/1131-1149 M), al-Zafir (544-549 H/1149-1154 M), al-Faiz (549-555 H/1154-1160 M), dan al-Adid (555-567 H/1160-1171 M).

Sekalipun Fathimiyah runtuh di Mesir, namun beberapa kelompok kecil Ismailiyah masih bertahan di Syiria, Persia dan Asia Tengah, serta mengalami perkembangan pesat di India. Artinya, setelah runtuh, sebuah kekuatan tidak serta merta lenyap, tetapi masih ada dan bertahan, atau setidaknya tumbuh di tempat lain.


[1] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Cet. 3, Jakarta, Kencana, 2007) h. 141
[2] Siti Maryam dkk., Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern (Cet. I, Yogyakarta: LESFI, 2003) h. 264
[3] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Cet. I, Bandung: Pustaka Islamika, 2008) h. 190
[4]Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (New York: Cambridge University Press, 2002) h. 285
[5] Philip K. Hitti, History of Arabs; From the Earliest Times to the Present, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi dengan judul History of Arabs (Cet. I; Jakarta: PT Serambi Ilmu Sentosa, 1429 H/2008 H), h. 789
[6] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Cet. I, Bandung: Pustaka Islamika, 2008) h. 190

[7] Hamka, Sejarah Umat Islam (Cet. V, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 2005), h. 333
[8] Ibid., h. 322
[9] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) h. 109
[10] Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas’adi dengan judul Sejarah Sosial Ummat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999) h. 536
[11] Philip K. Hitti, 2008. h. 791
[12] Philip K. Hiti, 2008 h. 800
[13] Jaih Mubarok, 2008h. 191
[14] Philip K. Hitti, 2008, h. 798
[15] Philip K. Hitti, 2008, h. 799
[16]Philip K. Hitti, 2008, h. 799
[17] Philip K. Hitti, 2008, h. 803
[18] Philip K. Hitti, 2008, h. 803
[19] http://. Atmonadi.com
[20] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, h. 536
[21] Philip K. Hitti, 2008,  h. 796
[22] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, h. 193

Tidak ada komentar:

Posting Komentar